I Wasn't I Am: A Written Secret

    Sebuah diskusi terjadi di kantor siang tadi. Diskusi yang tidak melibatkanku di dalamnya. Diskusi yang tidak akan berlangsung lama jika aku memutuskan untuk ikut campur. Diskusi mengenai Bahasa Inggris dari 'Aku yang dulu bukanlah yang sekarang.'

    Tepat ketika rekannya tengah mempertimbangkan 4 opsi yang ada, aku yang memang doyan 'menelinga' ini dalam sepersekian detik dapat menemukan jawabannya. I didn't even know the four possible answers they had on the screen. All I knew that it was a piece of cake. Past and present tense, what a basic!

    Beberapa saat kemudian, they nailed it! So did I. Opsi jawaban yang benar tepat seperti yang terlintas di pikiranku sejak awal. Not a lucky guess but simple and logical one. Sebenernya aku insecure score TOEFL 510 tinggal kenangan. Track record yang nggak bisa dipamerin ke orang. Prestasi yang udah basi untukku yang gagal 'melarikan diri' ke luar negeri.

    Gimana nggak insecure, setelah tiga tahun mati-matian membiasakan diri, sekarang nggak dipake sama sekali. Adapun satu-dua alasan aku bisa sedikit 'murajaah' adalah ketika ada yang males buka Google Translate apalagi kamus. Alasan lain adalah sok-sok-an aja, haha . . . padahal vocabnya udah banyak yang rontok.

    Back to the point, I'm supposed to be telling u my secret. Rahasia yang kuputuskan untuk tidak lagi menjadi rahasia bagi kalian yang mengunjungi blog-ku dan membaca ini.  Entah iseng entah tidak sengaja entah nyasar atau kemungkinan terkecil adalah aku punya secret admirer. 

Uh!

    Sewaktu SMA aku bisa dikatakan tertinggal di kelas. Tertinggal dalam artian denotasi adalah aku ditinggalkan di kelas karena tidur. Tapi kadang kala aku yang meninggalkan kelas (karena disuruh cuci muka alias ngantuk). Beberapa kali disuruh berdiri sepanjang jam pelajaran. 

    Adapun secara konotatif, aku tertinggal karena nilaiku standar (untuk tidak mengatakan banyak yang remedial). Menurutmu aku bodoh? 

    My Chemistry teacher who's also my house parent once said: Tidak ada anak yang bodoh, yang ada hanya anak yang malas. Meskipun setelah suatu tragedi beliau merubah pandangan tersebut, sorry I'm not here to be typing you her sight . . . Intinya aku mengaku bahwa aku memang pemalas.

    Pemalas yang Jenius

    Sejak SD, aku tidak pernah show up and I preferred to pretend to be dumb. Aku tidak suka dengan anak-anak sejenis Hermione Gringer. Menurutku mereka hanya cari muka dan tentu itu hanya aku yang berburuk sangka. Sebenci apapun aku pada mereka yang doyan angkat tangan dan tebar pesona di depan kelas, aku tidak bisa memungkiri bahwa keberadaan merekalah yang menyelamatkan orang-orang sepertiku.

    Bukan karena aku tidak bisa menjawab pertanyaan guru karena aku memang tahu.  Tapi mengangkat tangan ke udara bagiku hanya akan menangkap kehampaan. Bahkan ketika sosok-sosok Hermione tidak mampu tebar pesona, aku hanya bisa meremuk jemari dan bergumam, "Oh, come on! Don't give me a chance to show off my intelligent!" 

    Ketika tidak ada yang mampu, ketika tidak ada yang ingat, dan ketika guru mendesakku untuk bersuara, di saat-saat itulah aku akan muncul. Guess what? Tanpa carmuk toh aku tidak keluar dari 2 besar sejak kelas 3 SD dan juara 1 bertahan selama MTs. In fact, I wasn't a kind of studious pupil. A FAQ at the time was: What's the secret? And I was like, "I do nothing at home. Just focus on paying attention to the teacher and be critical of any lesson in the class. I don't even take a note."

    Setelah masa MTs yang gemilang, 'terperosoklah' aku di SMA berstandar internasional. Markas para bintang sekolah se-Provinsi Sumatera Selatan. There was an unforgettable joke: buntang di antara bintang-bintang. Julukan bagi mereka yang lamban. Mungkin joke itu pun beralamat padaku, sebab seperti itulah kelihatannya.

    Tapi mata tidak bisa melihat semuanya. 

    Aku bukan buntang. Aku juga bukan bintang. Aku adalah bulan karena Qomariah artinya bulan, kan? Hehe, canda uy! In this case aku juga bintang. Bintang yang dibanting karena tidak memancarkan cahaya. Bukan karena cahayaku meredup, tapi karena aku tahu waktu yang tepat untuk bersinar.

    Pernah sekali aku terang-terangan tidur di kelas sejarah. Bu Eliza membangunkanku dan memintaku maju untuk menggambarkan prasasti Palas Pasemah. Dengan muka tembok yang mau runtuh (baca:ngantuk) kugambarkan prasasti itu tanpa sedikitpun kendala. Padahal sebelumnya aku belum sempat membuka buku paket. See? I told you aku bukan buntang.

    Beruntungnya kejadian semacam itu sangat langka sewaktu SMA. Satu kelas dengan para juara membuatku tenang. Mereka menyelamatkanku dari pamer kecerdasan. Tanganku tertidur di atas meja, memainkan pena.

    Pertanyaannya mengapa nilaiku anjlok (bentuk dramatis 'standar')? Jawaban cepat: aku malas. Kedua, persaingan terlalu ketat. Ketiga, aku mau tahu rasanya jadi yang terendah. Dan aku tidak pernah jadi yang terendah padahal aku bahkan tidak menyentuh buku.

    Keempat, aku tidak mau menunjukkan bahwa sebenarnya aku bahkan bisa merebut Top Achiever di semua subject tapi aku tidak sanggup dengan risikonya. You know, orang yang menampakkan kecerdasan itu diburu dan aku lebih suka diksi: dieksploitasi. 

    Memang tidak semua. Tapi rata-rata tidak menyadari. We're not on the same page, are we? And it seems like I leave it in the air not to get you overthinking of me, for sure. Pembahasan ini terlalu berat. Yang penting kamu tahu rahasiaku meski aku ragu bahasaku ini layak untuk dicerna.

    Just pull yourself together because whatever I imply, I convince you that I WASN'T I AM.


Peace


Comments

Popular Posts