Akromatopsia Dalam Cerita
Ayatullah
Akromatopsia : Pancarona di Negeri Pancasila
“Toleransi terhadap sikap
intoleran adalah pengkhianatan.”
#silenceisbetrayal
“Demikian statusnya di akun media sosial ketika hendak mengikuti Aksi Damai
212 di Bundaran HI, dua puluh sembilan tahun yang lalu. Aksi paling damai yang
pernah terjadi di dunia. Mereka yang terpanggil hatinya bahkan rela menyeberang
pulau. Kendaraan massa melumpuhkan lalu lintas, tapi ratusan santri dengan
semangat jihadnya berjalan kaki dari kota tetangga.”
Semangat sekali Lukman menceritakan itu kepada kedua keponakannya yang
tidak terasa, sekarang sudah duduk di bangku SD. Hasan dan Ali sebenarnya sudah
tahu cerita ini, tetapi mereka masih antusias mendengarnya.
“Apa yang mereka lakukan?” tanya Lukman. “Bentrokan?”
Mereka menggeleng.
“Teriak-teriak seperti kebanyakan demo?”
Mereka menggeleng lagi.
“Merusak fasilitas negara?”
Gelengan mereka semakin kuat.
“Tidak sama sekali.”
Lukman menarik napas panjang. “Mereka salat, berdzikir, mengingat Yang Maha
Pengasih, yang telah memberi negeri ini kemerdekaan. Mengingat Yang Maha
Penyayang, yang menjadikan negeri ini kaya akan perbedaan. Perbedaan ras, suku,
dan agama. Untuk mempertahankan kekayaan akan keberagaman itulah mereka
berkumpul seraya berdoa. Apa doanya, Ali?”
“Ya Allah, jadikanlah negeri kami, Indonesia, negeri yang damai!” jawab Ali
seraya mengangkat tangan diikuti adiknya, Hasan.
“Cerdas!” puji Lukman.
Bagi mereka yang tidak memahami barangkali akan mencibir, sungguhpun mereka
muslim. Menyedihkan sekali. Tidakkah mereka mengerti berapa banyak darah suci
para mujahid, pahlawan-pahlawan kita yang berjuang dengan menggemakan kalimat
tauhid? Mereka tidak takut mati untuk bangsanya, rakyatnya, dan agamanya.
Seperti tertidur selama pengajian atau jangan-jangan sama sekali tidak
datang, mereka tidak sadar. Agama ini begitu besar perannya dalam mencapai
kemerdekaan.
“Siapa yang memerdekakan bangsa ini?” Lukman melanjutkan ceramahnya.
“Pahlawan?” jawab Hasan ragu.
“Para pahlawan itu tak bisa berbuat apa-apa jika tanpa kuasa dan
kehendak-Nya. Kemerdekaan bangsa ini adalah karena pertolongan Allah. Setiap
malam mereka bangun, berdoa untuk negara. Enggan mereka menundukkan punggung,
melakukan seikirei pada masa kolonial Jepang. Tanpa pernah putus
harapan, mereka terus memupuk semangat jihad karena bagi mereka, mati di jalan
Allah adalah cita-cita.”
Kedua keponakannya itu tersenyum kagum.
“Kapan bangsa kita merdeka?”
“Tujuh belas Agustus tahun empat lima,” jawab mereka kompak.
“Benarkah?”
Anak-anak itu saling pandang. Mereka yakin mereka benar.
“Mendekatlah,” pinta Lukman. “Negeri ini merdeka di hari yang agung pada
bulan yang suci. Jum’at, 9 Ramadhan, 1364 H. Bapak proklamator dan segenap
warga yang menghadiri peristiwa itu tengah berpuasa. Sedikit sekali yang tahu
fakta ini. Salah satunya pemilik status itu.”
“Kalian tahu, siapa yang pertama
kali mengakui kemerdekaan Indonesia?”
Hasan dan Ali berebut mengangkat tangan seolah itu lomba cerdas cermat
saja. Tapi sayang keduanya juga lupa.
“Secara institusi, negara kita langsung mendapatkan pengakuan dari Mesir.
Namun, secara personal, Mufti Palestina-lah yang langsung mengucapkan selamat
kepada kita. Sedikit juga yang tahu ini, salah satunya pemilik status itu.
Lukman kembali mengenang sosok ‘dia’.
“Dia sudah memenuhi panggilan Ilahi. Tenang. Seantero negeri ini berdoa
untuknya, mengagumi jiwanya yang indah. Ikut dalam aksi itu adalah sebagian
kecil dari kepeduliannya yang nampak. Kisahnya kini tiada yang bisa lupa.
Belasan tahun kemudian, laksana pahlaman kontemporer, dia dikenang.”
Terutama oleh seniman.
“Lukisannya dipajang di setiap gedung pemerintahan, menjadi pengingat bagi
pejabat tentang persatuan yang kuat. Paduan warna yang tak ternilai dengan
kata. Mereka menggelengkan kepala, mengingat bagaimana sang pahlawan
melukiskannya.
“Bukan siapa-siapa dia semasa hidupnya. Tapi siapa-siapa dia bukan
sembarangan pula. Dia pelajar, tapi bukan pelajar biasa. Dia teman, tapi bukan
teman biasa pula. Di akhir hayatnya, istimewanya ini menyelamatkan puluhan
nyawa. Namun, dari yang puluhan itu, kisahnya menyebar, menginspirasi negeri
ini untuk bangkit. Negeri yang hampir buta ini berdecak kagum akan caranya
melihat dunia.”
Juga caranya melihat pelangi.
“Selain lukisan, puisinya turut disenandungkan, membuat jiwanya hidup.
Puisi itu adalah cita-citanya. Sederhana tapi penuh makna.”
Lukman benar. Sederhana tapi berwarna.
Kepada negeri yang mengajarkanku betapa
indahnya dunia yang penuh warna
Aku merindukanmu
Apa kabarmu di masa aku benar-benar tak bisa
melihat?
Masih samakah indahmu?
Jangan biarkan orang-orang buta warna itu
memudarkan cerahmu!
Kepada negeriku,
jangan pernah berhenti merevisi, mengevaluasi
segala sistem, memupuki persatuan yang hampir mati, mengambil ibrah dari setiap
masalah, dan menguatkan tekad untuk kembali mengibarkan bendera kebanggan kita
di langit dunia
Bendera itu bewarna merah putih
Negeri itu bernama Indonesia
Di masa depan semua mata tertuju padanya
Di masa depan semua kata menjunjung
persatuannya
Di masa depan dunia berdecak kagum karena di
masa depan kelak dia bertambah indah dengan warna-warninya
Aku tahu itu
Meski aku tidak bisa melihatnya
Puisi itu menjadi kofer buku paket sejarah di setiap sekolah. Di bawahnya
tertulis nama sang legenda. Buku itu dibuka, seorang guru memulai pembelajaran
dengan mengucap salam. Anak-anak TK-nya menjawab kompak dan penuh semangat.
Hari ini mereka akan belajar sesuatu yang dulu baru diajarkan dasarnya di
bangku SD, dibuat membosankan di SMP, diteruskan hanya sebagai teori sampai
SMA, dan gagal diterapkan di kehidupan nyata.
“Anak-anak, hari ini kita akan
belajar to-le-ran-si. Belajar apa anak-anak?”
“To-le-ran-si!”
“Apa itu toransi, Bu?” tanya
seorang siswa.
“Toleransi, Adit, bukan toransi.
Coba diulang, Nak!”
Dengan sabar, sang guru mengajarkan
anak-anak itu. Dia harus menuntaskan pelajaran ini. Dulu, kata ini dianggap
begitu berat untuk diajarkan di usia mereka. Namun, sang penulis puisi itu
menyadarkan guru-guru di negeri ini bahwa satu kata itu sangat berarti untuk
ditanamkan segera guna menjaga perdamaian dan persatuan.
Semakin cepat ia ditanam hari ini, semakin rimbun dia esok hari.
“Jadi, Bu, toleransi itu apa?”
Sang guru tersenyum, anak-anak sudah
bisa mengucapkannya dengan benar juga sudah keringatan setelah menuliskannya di
buku masing-masing.
“Toleransi itu adalah cinta.”
“Ooo!”
Beberapa anak membentuk kata itu
dengan kedua telapak tangannya, lalu menempelkannya ke mata. Beberapa lagi
menggeleng tidak mengerti. Sang guru kembali tersenyum.
“Dengan toleransi, hidup kita akan
bahagia.”
“Bagaimana bentuk toleransi itu,
Bu?”
Sang guru merangkul beberapa anak.
“Toleransi itu bentuknya seperti senyuman, pelukan, rangkulan, sapaan, saling
memberi, saling memaafkan, . . . “
Mendengar tutur gurunya, anak-anak
bergandengan, mengayunkan kaki mereka, dan saling menebar senyum. Namun tidak
semuanya. Seorang anak terpojok, menunduk dekat mejanya. Ia memandangi
sepatunya yang menganga.
“Hei, kenapa Fiko?”
“Sepatunya jelek sekali, Bu! Ha ha .
. “ cetus seorang anak.
Tidak. Sepele sekali nampaknya tapi
sebenarnya tidak. Sudah ribuan jiwa melayang, bunuh membunuh hanya karena
masalah dompet siapa yang tebal, memperebutkan hak harta warisan, bahkan
sekadar saling sikut saat antri pembagian sembako. Semuanya di mulai dari pola
pikir dangkal yang diabaikan lantas dipelihara dan diwariskan sampai jadi
kebiasaan yang menjamur di negeri ini.
“Adit, nggak boleh bicara seperti
itu!” Sang guru berbisik, “Anak-anak, kalian ajak Fiko bergandengan juga, ya!”
Mereka mengangguk, bersama-sama
mengandeng Fiko.
Anak itu tersenyum haru. Mereka diajarkan berteman tanpa melihat ‘sepatu’
siapa yang bagus, tanpa melihat ayah siapa yang lebih terhormat.
“Nah, itulah bentuk toleransi, Adit!
Sekarang, Adit mau bergabung atau tidak?”
Ibarat kertas putih yang masih baru,
sedikit noda bisa dihapus dengan mudah. Anggukan Adit menghapus noda di
hatinya. Kata toleransi yang diajarkan sejak kecil bak diukir di atas batu.
Sang guru tidak ingin mereka lupa.
“Minta maaf dulu sama Fiko, ya!”
Anak itu mengangguk lagi lantas
malu-malu menghampiri Fiko.
“Fiko, maaf.”
Fiko mengangguk, anak-anak pun
bersorak ria. Satu jiwa terselamatkan. Mereka semua bergandengan, mengayunkan
kaki ke kiri dan ke kanan dengan sepatu yang sudah dilepas agar Fiko tidak
merasa sedih. Bahagia sekali sang guru melihatnya. Betapa sederhananya kata
toleransi untuk dipahami.
“Ibu Guru, apa yang terjadi jika
tidak ada toleransi?”
Seorang anak bertanya. Nampaknya
mereka sudah lelah mengayunkan kaki sampai terjatuh-jatuh.
“Dunia ini akan hancur. Orang-orang
tidak mau lagi berteman. Pertengkaran di mana-mana. Mengerikan sekali!”
Itu bukan kebohongan untuk sekadar
menakut-nakuti anak kecil seperti anak-anak dulu diajarkan takut kepada hantu.
Itu kenyataan. Seperti pernikahan tanpa cinta, keluarga mana yang bahagia. Yang
ada hanya menghasilkan penderitaan abadi dan kecacatan mental penuh dendam
dalam benak keturunannya.
Anak-anak saling merangkul lagi seakan takut dunia akan hancur jika mereka
terlepas. Detik itu, sebagian kecil penerus bangsa diberi bekal utama.
Cinta pada perbedaan.
Begitu mereka tumbuh kemudian duduk
di bangku SD, mereka diajarkan warna-warna. Siapa yang tak kenal lagu ‘Balonku
Ada Lima’? Ya, lagu itu hampir terlupakan dari kepala anak-anak kita yang
terpengaruh budaya barat. Hancur moral mereka dulu akibat mencerna bahasa yang
belum waktunya untuk dipahami oleh otak mereka yang polos. Maka lagu itu
diajarkan kembali.
“Balonku ada lima . . . Rupa-rupa
warnanya . . . Hijau, kuning, kelabu, merah muda, dan biru . . . meletus balon hijau, DOR . . . hatiku sangat
kacau . . . balonku tinggal empat . . . kupegang erat-erat.”
Itu lagu kesukaan sang pahlawan
kontemporer. Dinyanyikannya sambil membayangkan betapa senangnya memiliki lima
balon dengan warna berbeda bagi anak usia lima tahun. Lalu, bayangkan juga
ketika salah satu balon itu pecah, entah itu hijau atau merah muda warnanya,
niscaya anak itu akan menangis. Hatinya sangat kacau. Dia menggerutu,
semestinya balon itu ada lima warna, tapi sekarang tersisa empat. Begitu
tangisnya reda, ia genggam empat balon tersisa erat-erat, seakan genggaman itu
akan melindunginya agar tidak meletus.
Demikian lagu itu mengajarkan tentang
keutuhan yang dibangun dengan perbedaan dan pentingnya rasa memiliki untuk
mengukuhkan keutuhan itu.
Kepada saudara seiman kutitipkan pesan
Agama yang indah ini adalah rahmat
Disampaikan oleh Tuhan, Yang Maha Pengasih,
Maha Penyayang,
melalui Jibril, penyampai ayat-ayat cinta-Nya,
kepada Muhammad, kekasih-Nya yang dicintai-Nya
dan amat teramat mencintai kita,
umatnya, yang tak kuasa berhenti, senantiasa
bersalawat untuk cintanya
Maka jangan dustakan fitrahnya
Di bawah naungan Bhinneka Tunggal Ika kita
bersaudara
Ingatlah, sejarah pahit dan cita-cita bangsa
ini mengikat kita
Indonesia, milik kita bersama
Di waktu yang sama dan kofer buku dengan puisi oleh penulis yang sama,
seorang guru PKn memulai pelajaran di salah satu kelas SMP.
“Pemberontakan DI/TII,” katanya
sambil menulis di papan.
“Pak!” seorang anak mengangkat
tangan. “Maaf, tapi bukannya hari ini Bapak bilang kita akan belajar
toleransi?”
“Ya, itulah yang akan bapak ajarkan
hari ini, tapi sebelum itu, . . . biarkan sejarah negeri kita yang berbicara.”
Pak guru bercerita, “Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia adalah . . “
Panjang lebar sang guru menjelaskan.
Dari hasil perjanjian Renville yang mengecewakan, SM. Kartosuwiryo sebagai
otaknya, kronologinya, semua dijelaskan dengan bahasa yang menarik agar
muridnya dapat menangkap.
“Jadi, Kartosuwiryo dan pasukannya
ingin menjadikan negeri kita sebagai Negara Islam?” Seorang anak menarik
kesimpulan.
“Bukankah itu bagus, Pak?”
Sang guru cepat-cepat menggeleng.
“Tidak, itu salah total. Itu sangat buruk. Sejarah negeri kita begitu panjang.
Bukan saja agama kita yang mengisinya. Bukan cuma Islam yang berperan. Negara
ini dari dulu berdiri kokoh dengan lima tiang agama. Ada yang tahu, agama apa
saja itu?”
Seorang anak menjawab. “Katolik,
Protestan, Islam, Hindu, dan Buddha.”
“Ya, benar sekali. Dan sekarang kita
bertambah kuat karena sejak zaman presiden keempat, tiang ketuhanan di negeri
kita ini bertambah satu, yaitu-“
“Konghucu,” jawab muridnya yang
sipit, begitu semangat.
“Ya, betul sekali.”
“Tapi, Pak, bukankah tiang agama itu
salat lima waktu?”
Sang guru tersenyum. “Salat lima
waktu adalah tiangnya Islam. Sedangkan Islam adalah salah satu tiang ketuhanan
di negeri kita. Maka apabila kita tidak salat, tiang Islam akan runtuh. Jika
tiang Islam runtuh, negeri kita akan goyah. Begitu juga dengan agama lainnya.
Kita sama-sama mengukuhkan tiang kita.”
“Artinya, setiap orang harus
totalitas dalam agamanya?”
“Ya, benar sekali, Dina!”
“Tapi, Pak, setiap orang pasti
menganggap agamanyalah yang benar. Bagaimana jika mereka membenci agama lain?”
Sang guru kembali mengeleng. “Kita
semua memiliki Tuhan yang sama, kan?”
Anak-anak mengangguk.
“Tidak mungkin Tuhan menjelekkan
hambanya kepada hamba-hamba yang lain. Bapak tidak bisa mengatakan bahwa setiap
agama itu benar, tapi bapak percaya bahwa setiap agama mengajarkan kebenaran
dan toleransi.”
“Pak, apakah Kartosuwiryo berhasil
mendirikan Negara Islam?”
Sang guru tertawa. “Tentu saja
tidak, Nak! Lihatlah negeri kita! Sampai hari ini semboyan Bhinneka Tunggal Ika
tetap memayunginya.
“Apakah Kartosuwiryo berdosa, Pak?
Sementara dia berjuang untuk agamanya.”
Sang guru menarik napas panjang.
“Dia memang dihukum mati setelah penangkapan dengan taktik ‘pagar betis’, tapi
Allah yang menghukuminya. Yang bapak tahu, sebagai muslim dia merasa Islam
adalah agama yang benar dan itu wajar. Namun, ketika dia mulai berpikir bahwa
selain Islam adalah keyakinan yang salah, maka dia secara tidak sadar sudah
berada di pihak yang salah. Padahal, Nabi Muhammad mengatakan bahwa Islam
adalah agama yang lurus dan toleran.”
Anak-anak mengangguk, mengerti
sekaligus terkesima dengan kata-kata gurunya. Mereka paham, orang-orang yang
benar tidak akan menganggap yang lain salah.
Itulah toleransi, mengajarkan bahwa perbedaan bukan
tentang siapa yang benar, melainkan tentang bagaimana mereka saling melengkapi.
Lukman melanjutkan ceramahnya.
“Tidak terdengar lagi kasus tawuran pelajar SMA adalah buah dari pohon
toleransi yang ditanam sejak dini. Bayangkan, betapa dangkal pikiran pelajar
dulu. Mereka bertengkar untuk menentukan nama sekolah mana yang keren. Generasi
yang gagal itu tinggal sejarah kelam, agar generasi penerus belajar, negeri ini
cukup sudah terpuruk.”
Ali dan Hasan mengangguk setuju.
“Kemerdekaan memang sudah kita raih,” seru Lukman, makin semangat dengan
tangan dikepal. “Tapi jangan jadikan kemerdekaan itu sebagai euforia sesaat.
Perjuangan pahlawan kita belum selesai. Tugas mempertahankan kemerdekaan yang
jauh lebih berat sekarang berada di pundak kita. Tugas itu berada di pundak
kalian, Nak!” ujar Lukman seraya menepuk pundak kedua keponakannya. “Jadilah
pemuda yang berjiwa pahlawan!”
Alangkah indahnya negeri ini! Semua
itu tak lain adalah hasil revisi, sistem yang dievaluasi, ibrah dari setiap masalah
yang dulu mengancam negeri ini. Semua itu berawal dari kisah yang begitu
menyayat hati, menyadarkan semua yang membacanya. Kini namanya abadi dalam
sejarah. Dialah penulis puisi itu. Sederhana dan penuh makna.
“Pak Wo, bisakah Pak Wo ceritakan
pada kami tentang penulis puisi itu?”
“Iya, Pak Wo! Hasan suka sekali
dengan puisinya.”
Lukman tersenyum. “Kisahnya di mulai
belasan tahun yang lalu.”
“Selamat siang, Pemirsa! Saat ini
saya sedang berada di TKP, Hotel X, tepatnya di Jalan Kuning, dekat simpang
lampu merah di mana pengeboman terduga teroris baru saja terjadi satu jam yang
lalu, tepatnya pada pukul tujuh waktu Indonesia bagian barat. Bisa dilihat di
belakang saya, saat ini pengevakuasian korban masih dilakukan oleh pihak
kepolisian.
Evakuasi dapat dilakukan karena api dapat dengan cepat dipadamkan. Untuk
sementara jumlah korban tewas diketahui berjumlah sekitar tujuh orang yang saat
ini sedang diautopsi untuk dipulangkan kepada pihak keluarga secepatnya.
Baiklah, Pemirsa, untuk mengetahui kronologinya lebih lanjut, di sini saya
ditemani oleh salah seorang saksi yaitu Bapak Nathan. Selamat siang, Pak
Nathan!”
“Selamat siang!”
Dengan terengah-engah, Pak Nathan
menceritakan apa yang masih tidak dia percaya telah terjadi di depan matanya.
Dari lokasi pemasangan bom, semuanya sudah diberi peringatan oleh orang yang
masih dalam tanda tanya.
“Boooom! Awas ada bom! Ayo, semuanya keluar! Cepaat!”
Pak Nathan bersama dengan pengunjung dan karyawan mal langsung
berhamburan mengosongkan gedung itu begitu tombol darurat ditekan. Dan begitu
mereka keluar dari mal tersebut,
penghuni hotel di seberang jalan juga bernasib sama.
“Ada apa ini?”
“Apa yang terjadi?”
Pengunjung saling bertanya tanpa mendapat jawaban. Mereka lalu memadati
jalan raya dan membuat macet lalu lintas. Pihak hotel yang ikut keluar karena
panik, kebingungan, lantaran tombol darurat itu di luar kendali mereka. Polisi
kemudian dihubungi.
Bum
Terlambat. Api mendobrak, memecah dinding lantai pertama hotel, sebuah
ruangan dekat meja tamu. Suara orang ramai sahut-menyahut, saling bertanya, apa
yang terjadi sebenarnya, dan suara klakson pengemudi yang terjebak gerombolan
pengunjung mal dan hotel itu pecah sejenak.
Sirine mobil polisi dan ambulan yang
berdatangan turut meramaikan. Massa diamankan. Api segera dipadamkan. Beberapa
polisi dengan pakaian lengkap langsung melakukan pemeriksaan ke mal yang
dikhawatirkan juga akan meledak.
“Patiiih!”
Langkah polisi itu tersentak,
melihat seseorang tiba-tiba berlari keluar sambil berteriak. Aneh. Tadinya
polisi mengira semua pengunjung sudah diperingatkan. Ketika dihentikan, pria
itu memberontak, hendak masuk ke hotel yang belum padam.
“Pria itu sangat mencurigakan. Dia
berlari menuju sumber ledakan, sambil teriak-teriak tidak jelas,” ujar Pak
Nathan.
“Baiklah, terima kasih banyak, Pak
Nathan, atas informasinya. Pemirsa, saat ini saya juga sudah bersama salah satu
polisi, yaitu Bripda Ari. Bripda Ari, jadi siapa pria mistrius tersebut?”
“Kami belum bisa memastikan
identitasnya sebelum pemeriksaan dilakukan. Tetapi yang lebih mencengangkan
lagi, dalam mal itu ditemukan seperangkat bom yang sudah dijinakkan. Dan
untuk ledakan di hotel, dugaan sementara, pelakunya melakukan aksi bom bunuh
diri.”
“Terima kasih, Bripda Ari. Nah,
pemirsa, selain bom yang ditemukan jinak dan pria mistrius yang masih dalam
pemeriksaan, tim kami mendapat informasi bahwa satu dari tujuh korban jiwa
dinyatakan masih hidup alias dalam keadaan koma. Selain itu juga ditemukan pengunjung
yang berhasil menyelamatkan diri lewat pintu darurat. Belum ada keterangan
lebih lanjut dari para saksi untuk saat ini disebabkan . . eh, kondisi mereka
yang masih terkejut dengan kejadian ini. Baiklah, pemirsa, sekian yang dapat
saya sampaikan, kembali ke studio.”
Selain meramaikan pemberitaan di
televisi, besoknya, hotel yang terbakar hangus itu jadi halaman depan setiap
koran yang terbit dengan judul yang beragam.
Lagi, Kasus Intoleransi Mengancam
Integrasi
Hotel X Hangus, Mal Seberang
Selamat
Bom Jinak dan Pria Mistrius
Ditemukan
Teror di Hotel X
Dua Bom, Satu Ditemukan Jinak
Mistrius, Pria di Balik Pengeboman
Pelaku Bom Bunuh Diri Belum
Teridentifikasi
Sampailah surat kabar itu ke
pelanggannya. Bermacam-macam tanggapan keluar dari mulut mereka. Kecewa mereka
pada negeri yang kedamaiannya kini dipertanyakan.
“Apa lagi kalau bukan karena agama?”
“Ya, Tuhan! Radikal sekali
pelakunya.”
“Hancur, sudah! Mau jadi apa negeri
ini diteror terus?”
“Innalillahi wa inna ilaihi
rajiun! Dosa apa negeri ini, Gustii!”
“Ya, Allah, selamatkanlah negeri
kami!”
Di waktu yang sama, sebuah meja
persegi di sebuah ruangan di penjara yang gelap, dua orang duduk berhadapan
dengan satu lampu penerangan di atasnya.
“Jawab!”
Suara hentakan meja yang makin keras
memenuhi ruangan. Pria mistrius itu masih membungkam. Pertanyaan polisi
terngiang-ngiang di telinganya.
“Siapa kau?”
“Apa yang kaulakukan di gedung itu?”
“Kenapa kau ingin ke hotel itu?”
“Siapa kau?”
“Dan siapa itu Patih?”
Pertanyaan terakhir membuat pria
mistrius itu terangkat kepalanya. Tatapannya tajam. Setelah menarik napas
panjang, ia bersuara, “Akulah pelakunya.”
“Apa?” Polisi itu berdiri, terkejut seperti mendengar batu bicara. “Apa kau
bilang?”
“Akulah teroris yang radikal dan sedang jadi perbincangan itu. Aku!”
Lengang sejenak.
“Aku tahu,” polisi itu duduk kembali. “Namamu Sidik, kan? Kau anggota baru
mereka. Aku hanya memancingmu untuk mengakuinya. Tindakanmu yang mencurigakan
kemarin sudah cukup untuk meyakinkanku bahwa kaulah pelakunya. Aku sudah sering
menangani kasus seperti ini.”
Polisi itu kembali menatapnya sangar. “Tapi, kenapa bom itu jinak?”
Pria mistrius yang berganti jadi teroris bernama Sidik kembali membisu.
“Hei, aku bertanya!”
Tatapannya kosong, sulit diartikan. Tidak ada ketakutan di matanya
melainkan gabungan rasa sesal dan rasa bersalah. Ia duduk menyandar dengan
tangan terlipat, tetap menunduk, menatap kegelapan di lantai bawah meja.
“Bicaralah atau aku akan menggunakan kekerasan,” ancam si polisi.
Pria itu mengedipkan matanya yang berat dengan bibir sedikit terangkat. Dia
sama sekali tidak merasa terancam.
Atau dia mengalami kegilaan?
Polisi itu berbisik sinis, “Apa kau
tahu ada berapa nyawa yang terancam di luar sana? Apa kau tahu ada berapa
anggota keluarga yang bertaruh mental? Apa kau tahu ada berapa golongan yang
khawatir akibat ulahmu? Hah? Akibat ulah bodohmu itu, sudah ada dua puluh satu
korban jiwa, kau tahu?”
“Aku anggota baru!” bantahnya.
Polisi itu menahan emosi. “Baiklah,
sudah ada enam korban jiwa akibat ulahmu kemarin,” ralatnya.
“Harusnya lebih banyak dari itu!
Harusnya lebih banyak,” jawab teroris itu dingin. Akhirnya dia bersuara lagi.
“Kau gila!” Polisi itu hampir meninjunya. Namun, dia ingat, kondisi psikis
pelaku tidak memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan dengan jalan kekerasan.
Yang harus dia lakukan adalah menggali sebanyak-banyaknya informasi.
“Lalu kenapa bom itu tidak aktif? Kesalahan teknis?” ejeknya.
Bom itu tidak mungkin dijinakkan
oleh teroris, pikir si polisi. Entah apa yang dia lakukan di gedung itu, tidak
masuk akal saja jika nanti teroris itu mengaku bahwa penjinakan itu adalah
ulahnya sendiri. Tapi lihatlah pria itu, dia seperti orang gila yang bingung
antara sedih dan bahagia. Ejekannya tak digubris.
“Dengar!” Suara polisi terdengar
lembut. “Aku menghargai kejujuranmu, aku sangat menghargainya. Jarang aku
menghadapi pelaku yang langsung mengakui kesalahannya.” Dia menarik napas.
“Boleh aku tahu, kenapa kau mau mengaku?”
Cara lembutnya itu ternyata
berhasil. Tak ada gunanya memukul pelaku teroris yang bahkan tidak takut dengan
bom.
Sidik mengangkat kepalanya. “Karena aku ingin bertaubat dan pengakuan dosa
adalah langkah pertamanya. Ya, aku ingin bertaubat. Kau paham?”
Tubuh Sidik bergetar mendengar
kalimatnya sendiri barusan. Betapapun dia bergabung dengan kelompok teroris
itu, ia masih punya sebagian hati yang merindu kedamaian. Dosanya laksana
cambukan agar dia sadar bahwa Allah selalu mengawasinya. Dia ingin kembali ke
pangkuan Tuhan dengan iman.
Ekspresi wajahnya sangat meyakinkan. Jika benar yang dia katakan, maka
penjinakan itu mungkin saja memang dia yang melakukan.
Polisi itu mengangguk. “Menarik! Andai semua mantan teroris sepertimu.
Lalu, beritahu aku, ya atau tidak kalau kau sendiri yang menjinakkan bom itu?”
“Kau tidak akan percaya jawabanku,” katanya, secara tidak langsung
membenarkan prediksi polisi itu.
“Dengar, jika kita punya bukti, mungkin hukumanmu akan diringankan. Tapi
aku tidak bisa membelamu. Kau harus cari pengacara.”
Sidik bergeming, dia sama sekali tidak tertarik. Bukan hukuman yang sedang
dia khawatirkan.
“Kalau kau tidak mau, artinya kau siap menanggung apapun bentuk
konsekuensinya?“
“Apapun bahkan mati sekalipun, aku
terima. Tidak apa-apa, aku pantas mendapatkannya. Bukan masalah lagi buatku,
tapi-“
“Tapi apa? Kau punya permintaan
terakhir?”
“Patih,” gumamnya.
“Itu sudah jadi pertanyaanku dari
tadi. Siapa Patih?”
Sidik memejamkan matanya. Berat
sekali rasanya menjelaskan siapa seseorang bernama Patih itu.
“Dia . . . “
( . . . )
“Assalamualaikum, Pak?”
“Ah,ya, . . . walaikumsalam,”
jawabnya singkat, kembali mencuci motornya.
Setiap Minggu, hari ketika aku bisa
melihatnya di teras rumah, aku selalu menyapanya, dan selalu begitu responnya.
Tidak ada kata-kata lain yang aku dapatkan. Apakah memang seperti ini yang
namanya kompleks? Sepinya seperti kota mati. Semua rumah berpagar tinggi, semua
pintu dikunci, seperti tidak berpenghuni. Atau orang-orang di kompleks ini memang
sangat sibuk?
Entah.
Sejujurnya, basa-basi itu sangat dibutuhkan. Tidakkah dia asing melihatku
sebagai tetangga baru? Ya, aku baru pindah ke sini dua hari yang lalu.
Merantau, menyeberang pulau untuk melanjutkan perkuliahan. Cobalah dia tanya
dari mana asalku, aku akan dengan bangga menceritakannya.
Desa Pelangi
Ibu yang menamainya. Pelangi itu
indah, kata ibu. Namun, pelangi bak menghilang sejak aku lahir. Yang ada hujan
berbadai. Entah siapa yang mencurinya. Ibu tak pernah putus asa untuk
menunjukkanku bagaimana indahnya pelangi.
“Pelangi itu adalah simbol perbedaan yang bersatu.”
Aku ingat sekali kata ibu. Itu sebabnya kami tinggal di desa itu. Ada
banyak agama maupun ras yang menghuninya.
Duhai, semangat sekali aku melihat pelangi kembali. Aku melukisnya dengan
pertemanan. Mereka, teman-temanku, berasal dari
agama yang berbeda. Kami berteman dari kecil sampai SMA. Aku tidak akan
pernah melupakan mereka.
Keakraban kami di tengah perbedaan cara beribadah membuatku mengerti apa
itu toleransi. Bukan sekadar kata yang bermakna menghargai atau menghormati
perbedaan, melainkan lebih. Aku mendapatkannya seperti serendipiti di tengah
badai rasis, radikalis, dan fanatis orang-orang yang dengan bangga
memproklamirkan diri mereka sebagai teroris.
“Ya, Tuhan!” gumamku.
Secangkir kopi yang kuhirup pagi itu membawaku bernostalgia. Aku merindukan
pelangiku. Arin, Marthin, Arjun, dan Nyoman.
Saat aku masih duduk di bangku SMA
. . .
“Seorang
pelukis buta . . . “
Arin memulai sajaknya di belakangku.
“Seorang
pelukis buta bermain dengan kanvas dan kuas di tangannya, mencipta garuda
bangkit menjenguk negerinya, terbang di langit yang tak lagi biru melainkan
merah karena hari ini seorang sipit meregang nyawa . . .”
Aku tersenyum. Hari sabtu selalu
ditunggu. Aku menyebutnya, hari kebebasan berekspresi. Sabtu kali itu,
kuputuskan mengunjungi art room untuk menuangkan sketsa pikiranku yang
prihatin akan merah putih. Kasus-kasus rasis dan radikalis membuatnya berkibar,
bukan karena angin, melainkan karena badai yang membuatnya terlihat panik di
puncak tiang.
“Pelukis buta? Huh!”
komentarku. Diksinya, aku kurang setuju. Bagaimana seorang buta melukis garuda?
Meski kutahu, Arin punya maksud lain.
Di belakangku, Arin diam saja.
Biasanya puisi Arin lebih panjang dari itu. Menoleh aku padanya dan kudapati
wajahnya muram. Dia sendiri tidak setuju dengan diksinya.
“Arin?”
Bukannya menjawab, dia menatapku
sayu, “Apa mataku sipit?”
Seorang sipit meregang nyawa
. . . Tertulis sebagai headline di surat kabar hari ini, ‘Cukup Mei 98’.
Aku merebut surat kabar itu dari tangan Arin yang terkulai lemas. Kuakui betapa
jago ia bermain kata, tapi baru kali ini ia terjebak sendiri di dalamnya.
Seorang keturunan Cina dikeroyok sampai tewas. Arin terkenang ibunya.
Aku menarik kursiku mendekat. Aku
tidak ingin menjadi seperti kebanyakan orang yang tahunya hanya komentar
sana-sini, sok punya solusi tanpa disuarakan sedikitpun. Sadar, saat ini aku
bukan siapa-siapa untuk prihatin pada negeri. Setidaknya bagi Arin, aku adalah
seorang teman. Mungkin aku bisa menghiburnya.
“Kenapa menunduk malu begitu?
Bukankah mata yang sipit itu anugerah? Hei, dengar! Siapa mereka itu yang
berani mengganggu gadis dengan mata cantik sepertimu, hah? Kau punya aku, kau
punya banyak teman.”
Perlahan Arin mengangkat kepalanya
diikuti garis senyum di pipinya yang tembam. “Bisa saja, kau. Gombal! Bukannya
itu zina namanya dalam kitabmu? Kau ini, dosa tahu!”
Aku tertawa melihat cerewetnya
kembali. Kau tahu betapa senangnya berteman dengan keturunan Cina bagiku?
Rasanya seperti mengenal warna merah.
“Lagi pula aku butuh lebih dari
sekadar teman untuk merasa aman. Aku ingin hak kami ditegakkan,” kata Arin.
“Tenang, Rin! Aku yang akan jadi
pemimpin nantinya.”
Arin tertawa juga akhirnya.
Kasihan sekali Arin. Hatinya terlalu
lemah untuk pura-pura tegar dengan senyumnya. Aku tahu, ibunya adalah salah
satu korban bertahan dari kerusuhan Mei 98. Massa itu membakar rumah
orang-orang Tionghoa. Ayah Arin tewas terbakar bersama mobilnya dalam
perjalanan pulang. Untungnya seseorang menolong ibu Arin melarikan diri ke
bandara, atau nasibnya lebih malang karena jadi korban pelecehan.
Hari Sabtu berlalu. Selepas subuh,
aku menikmati arunika Minggu yang hangat dengan berlari, menjenguk sebagian
kecil dari negeri yang damai, dan memamerkan senyum pada tetangga.
Meraki.
Melihat anak-anak berlarian sambil bernyanyi, membuatku mengingat masa
kanak-kanakku yang cukup bahagia.
“Hei, Patih!”
Aku berhenti, berjabat dengan
Marthin dan orangtuanya di persimpangan. Berhubung lelah, kuputuskan untuk
berjalan, hitung-hitung menemaninya ke gereja di depan jalan.
“Ah, cak engkleng . . . Mama
dulu sering memainkannya,” kata ibu Marthin, juga memperhatikan anak-anak itu.
“Syukurlah, masih ada yang
memainkannya. Zaman sekarang jarang sekali anak-anak main di luar.”
“Iya, Pa, kebanyakan anak-anak
sekarang keasyikan mengendap di kamar,” sahut Marthin.
“Lho, bukannya kamu juga suka
mengendap di kamar, Tin?” tanyaku, menggoda.
“Ah, kau ini, Pat! Maksudku, mereka
itu mengendap di kamar gara-gara keasyikan main gawai. Main, itu lho, apa
namanya . . . permainan daring,” ujar
Marthin. “Aku, kan, belajar.”
“Eh, serius belajar?” Mamanya
ikut-ikutan menggoda.
Marthin dan aku sudah seperti
saudara. Mamanya bahkan memintaku memanggilnya ‘mama’ dan sering marah kalau
aku lupa. Kami saling mengunjungi saat hari-hari besar keagamaan, baik natal
maupun hari raya idul fitri. Ibu bilang, aku tidak boleh mengucapkan selamat
natal. Uniknya, mereka juga tidak keberatan.
“Kau sudah membaca koran pagi ini?”
tanya Marthin, setelah berbincang-bincang soal permainan mamanya.
“Belum.”
“Kami turut berduka, Kawan!”
“Untuk apa?” tanyaku heran.
Marthin menarik napas panjang
sebelum menjawab, orangtuanya mengelus pundakku. “Kemarin, aku sedih melihat
Arin. Kabar tentang tewasnya keturunan Cina, kau tahu?”
Aku mengangguk cepat, penasaran.
“Hari ini, seorang kiai terbunuh di
pulau seberang.”
Aku bergeming. Innalillahi wa
inna ilaihi rajiuun.
“Menurut kabar, suara adzan jadi
alasan.”
Astaghfirullahaladzim.
Teganya dia. Kata Ayah Marthin, dia ateis. Mungkin karena itulah
orang-orang tidak menerima perbedaan. Maka mulai hari itu kupikir, siapapun
yang menolak perbedaan, artinya dia tak bertuhan. Aku menarik napas dalam-dalam,
mencoba menenangkan diri.
“Terima kasih, Kawan!”
Kuantar dia sampai depan pagar
gereja, melambaikan tangan ketika dia masuk. Sebuah replika pohon cemara untuk
hari natal nanti berdiri di depan gereja. Kau tahu betapa senangnya memiliki
teman kristiani bagiku?
Rasanya seperti mengenal warna hijau pohon cemara yang tetap hidup
bagaimanapun musimnya.
Lain lagi dengan Arjun.
Tin
Suatu hari aku tak sengaja
melihatnya berjalan kaki.
“Keselamatan bagimu, Patih!” ucapnya
begitu motor kuhentikan.
Aku tertawa. Arjun suka sekali
membaca. Semua buku dia baca, termasuk buletin yang kudapatkan dari anggota
rohis di sekolah sehari sebelumnya. Di sana tertulis bahwa muslim tidak boleh
mengucapkan salam kepada non-muslim. Dia menggangguk mafhum, wajar saja
baginya.
“Kau berjalan siang-siang begini mau
ke mana? Vihara?”
Arjun mengangguk.
“Ya, sudah, sekalian! Biar aku
antar.”
Sengaja, meski vihara lebih jauh
dari tempat percetakan yang kutuju, aku hanya ingin melihat sesuatu. Begitu
sampai di kuil yang dibangun sederhana itu, aku melihat biksu dengan pakaian
polos yang membalutnya. Aku sering melihatnya di televisi dan sekali melihat
Arjun sendiri yang memakainya. Kau tahu, kenapa aku ingin melihat biksu? Kau
tahu betapa senangnya aku berteman dengan Arjun?
Rasanya seperti mengenal warna
oranye yang indah pada swastamita.
Hari-hariku tak pernah berlalu tanpa teman. Jika orang sudah kusapa, aku
akan mengenalnya sedalam yang kubisa. Tak peduli siapapun dia, bagaimanapun rupanya
ataupun keadaan ekonominya, aku ingin memperbanyak teman. Semakin ia berbeda
semakin menyenangkan.
Pernah suatu hari, setelah kami
berdoa dengan masing-masing cara, Nyoman menyela.
“Jangan!”
Marthin, aku, dan Arin menoleh
serentak, sesaat sebelum sup itu tercicip kaldunya.
“Kenapa, Nyoman?”
Kami memandang Nyoman kebingungan.
Anak rantauan dari Bali ini sejak tadi sama sekali tidak menyentuh makanan di
meja.
“Oh, tidak, tidak apa-apa. Di
keluargaku, aku tidak pernah-“
“Oh, maaf!” potong Arin sembari
menyingkirkan mangkuknya. “Nyoman, kami lupa. Tidak sopan sekali kami makan
daging sapi di depanmu.”
Aku menepuk dahi, benar-benar lupa.
Aku lupa bilang ke ibu kalau salah satu temanku beragama Hindu. Marthin juga
lupa. Dia tertawa sambil curi-curi mencicipi sesendok kuah.
“Maaf,” ucapku tidak keenakkan.
“Ah, aku yang minta maaf. Aku jadi
mengganggu makan siang kalian.”
Marthin menggeleng sehabis minum.
“Tidak, kok. Sama sekali tidak. Jangan sungkan-sungkan! Kau masih punya lauk
yang lain, kan, Pat?”
Aku tertawa. Bisa saja Marthin,
tebakannya benar. Masih ada lauk lain di dalam tudung. Aku membawa semangkuk
sup daging sapi itu ke belakang. Nyoman jadi serba salah.
. . . .
Kuhirup lagi kopi hitamku yang
hampir dingin. Aku sungguh betah tinggal di sana dan sangat berat begitu
pertama kali melangkahkan kaki dari gerbangnya.
Universitas tempatku kuliah berbasis Islam, hampir tidak mungkin untuk
menemukan teman yang berbeda keyakinan. Saat itu yang aku harapkan, aku akan
mendapatkan pelangi baru dari tetangga baru. Meski bukan berbeda agama, mungkin
perbedaan karakter juga seru.
“Ah, mungkin belum waktunya.”
( . .
.)
“Dia tetanggaku.”
Setelah lama terbata-bata mengatur
napas, dia hanya mengatakan itu.
“Apa urusan dia dalam kasus ini?
Kenapa kau meneriaki namanya.”
“Dia ada di hotel itu.”
“Apa yang dia la-“
“Dia yang saat ini belum
teridentifikasi tapi sudah dicap sebagai tersangka teroris bom bunuh diri, “
ujarnya sekali napas.
Polisi itu menahan napas. Sedikit
sulit untuk mempercayai pernyataan pelaku. “Jadi itu bukan bom bunuh diri?”
Sidik menggeleng. “Terserah kalau
kau tidak percaya. Tapi aku berani bersumpah, aku mengatakan yang sebenarnya.
Dia bukan teroris.”
“Kenapa dia di hotel itu?” tanya
polisi itu lagi.
“Karena dia orang yang baik,”
gumamnya.
( . . . )
“Imaaa!”
Pengendara
motor itu kabur, tapi aku sempat melihat nomor kendaraannya. Kompleks yang sepi
memang memberinya kelonggaran, tidak denganku. Sudah lama aku tidak melihat
Ima. Si kecil itu ternyata baru bisa berjalan. Entah bagaimana, dia berjalan
terlalu jauh, lepas dari pengawasan ibunya.
“Tanteee!”
teriakku.
Aku memangku tubuh kecil dengan darah di kepala. Tak ada suara tangis.
Tabrakan itu terjadi secepat kilat. Dua kali benturan, badan motor dan aspal,
membuat wajahnya pucat, terkejut. Aku memeriksa nadinya, dia masih hidup.
Ibunya, dengan pakaian masaknya, berlari panik ke arahku. “Ima! Ya, Tuhan!
Ima! Nak, bangun, Nak!”
Kuangkat tubuh itu ke teras rumah Pak Sidik.
“Ayo, Tante, kita bawa ke rumah sakit.”
Istri Pak Sidik yang kepanikan itu bingung, apa yang harus dilakukan.
“Oh, iya, tante hubungi dulu ayah Ima.”
“Biar aku saja, Tante!” pintaku. Tangan wanita itu begitu gemetaran bahkan
sekadar untuk memegang handphone.
Namun, menjadi seorang pegawai tinggi di perusahaan terkenal membuat Pak
Sidik begitu sibuk sampai tidak sempat melihat teleponnya. Tiga kali sudah aku
mencoba menghubunginya, masih belum ada jawaban. Akhirnya kuputuskan untuk
meninggalkan pesan suara.
Aku heran. Sungguhpun istri Pak Sidik menangis histris karena Ima tak
sadar-sadar, penghuni kompleks itu masih mengendap di rumahnya. Bahkan tetangga
sebelah Pak Sidik menutup jendelanya, bising mungkin baginya. Ada juga yang
hanya mengintip dari jeruji pagar besi.
Ah, mati sudah kompleks ini!
Aku tak tahan mendengar tangisan dan melihat darah yang mengucur.
“Tante, tidak ada jawaban. Tante, kita harus mengantarkannya ke rumah sakit
segera!” desakku.
Wanita itu mencoba tenang untuk berpikir. “Patih? Kau bisa menyetir?”
Aku mengangguk cepat.
Alhamdulillah, mobil Pak Sidik kebetulan ditinggal. Cepat, aku mengantarnya ke rumah
sakit terdekat. Doa-doaku dan si ibu berurai di dalam mobil.
“Maafkan ibu, sayang! Maafkan ibu!”
“Tante, sabar!”
“Ini salahku! Ima, sadar, Nak!”
Sungguh aku terkejut mengetahui dia sudah bisa berjalan. Aku bahkan belum
melihatnya merangkak. Ima jarang keluar. Terakhir kali aku melihatnya beberapa
bulan yang lalu . . .
“Masha Allah!
Alangkah lucunya!”
Mungkin Pak Sidik terlalu banyak pikiran untuk diajak basa-basi atau
berkenalan, tapi istrinya yang melahirkan beberapa bulan setelah aku pindah,
sering mengajak putri kecilnya jalan-jalan sore.
“Namanya Ima, Om!”
Ima. Hampir setiap sore aku mencubit pipinya yang tembam kala bertemu di
jalan saat aku pulang kuliah. Bahkan aku tahan duduk di teras, menunggu ibunya
mengajaknya keluar dengan kereta bayi. Matanya yang belok itu, nayanika yang
enak dipandang. Perlahan, aku diizinkan ibunya mendorong kereta. Ah, mungkin
ini warna pertama pelangi baruku. Aku belum pernah berteman dengan anak kecil
sebelumnya.
“Ima! Pulang, yuk!”
Suatu sore, seruan ayahnya mengakhiri jalan-jalan kami.
“Baru pulang, Pak?” sapaku.
Pak Sidik hanya tersenyum. Terlihat memaksakan diri untuk ramah. Mungkin
dia lelah. Sembari mengiring Ima ke rumah, dia berbisik ke istrinya. Entah apa
yang dibisikkannya, yang jelas, hari itu hari terakhir aku melihat kereta bayi
di jalan kompleks.
Pelangiku yang baru satu warna itu hilang. Tidak ada lagi suara ketawa Ima
yang lucu. Pak Sidik tidak mengizinkan istrinya mengajak Ima jalan-jalan
keluar. Apakah Pak Sidik memandangku jahat? Apa Pak Sidik tidak menyukai
penampilanku yang sedikit berjanggut? Atau mungkin . . .
Astaghfirullahaladzim.
Kubuang jauh-jauh prasangka itu. Sungguh, setan telah memanfaatkan
kebingunganku. Aku mencoba tenang, berpikir positif.
“Ah, itu wajar. Lagipula kami memang belum saling mengenal. Seperti pesan
kebanyakan orangtua yang teramat sayang pada buah hatinya, ‘jangan main dengan
orang asing, ya.’,” kataku pada diri sendiri.
Lagipula lagi, siapa aku melainkan tetangga yang kesepian di ‘kota mati’?
Akhirnya kami sampai.
Dua orang perawat menyambut sigap. Ima langsung dilarikan ke ruang gawat
darurat. Tak lama berselang, pesan suaraku diterima Pak Sidik. Beliau menyusul
sejam kemudian.
“Ada apa? Apa yang terjadi?” tanyanya begitu sampai.
Aku berdiri, hendak menjelaskan. Tapi Pak Sidik mendorong tubuhku ke
dinding. Istrinya yang sedang terisak itu mencoba memisahkan.
“Bukan, Yah! Bukan dia. Dia bahkan menolong kita.”
Pak Sidik melepas cengkramannya dari kera bajuku, lantas membuang muka
seolah semuanya adalah salahku. Seolah mengendarai mobilnya untuk membantu itu
tidak diperlukan. Seolah menjadi tetangga yang peduli itu sama sekali tidak
berarti. Sumpah, aku hampir putus asa memahami pola pikirnya.
Apa aku harus mengganggu? Mungkin aku sebaiknya pulang saja.
Pria berjas putih berkalungkan stetoskop keluar dari ruangan Ima.
“Ada orangtuanya?”
“Saya, . . . kami orangtuanya,” jawab Pak Sidik.
“Anak Bapak kehilangan banyak darah.”
Istri Pak Sidik menutup mulut, terkejut. Aku yang baru akan berbelok,
bergeming. Semoga Ima baik-baik saja, batinku.
Aku ingin pulang saja. Setidaknya aku sudah sedikit membantu. Lagipula,
tidak ada lagi yang bisa aku lakukan, kecuali terlihat seperti ikut campur
urusan orang.
“Transfusi darah harus segera dilakukan,” lanjut dokter itu.
Entah mengapa aku masih bergeming, menelinga di sana. Sesuatu menahan kakiku.
Aku ingin memastikan bahwa warna pertama pelangi baruku baik-baik saja.
“Ambil darah kami, dokter! Cepat!”
“Selamatkan anak kami dokter!”
istrinya menambahkan.
“Baiklah,
semoga . . ,” Dokter itu terdengar ragu. “Apa golongan darah kalian?”
“AB.”
“AB.”
Pasangan
suami istri itu terdiam. Terbawa situasi panik, mereka baru ingat kalau Ima
memiliki golongan darah berbeda. Putri kecil mereka tidak bisa menerima darah
mereka. Itu malah akan membahayakan keadaannya.
“O!” aku
berbalik arah. “O, golongan darahku O.”
Ya,
Allah! Betapa Maha Kuasa Engkau. Kehendakmulah kaki ini diam tak bergerak.
Kehendakmulah telinga ini mencuri dengar. Kehendakmulah hati ini cenderung
peduli. Semuanya pasti punya jawaban.
Pak Sidik
akhirnya mengangguk setelah dimohonkan istrinya. Matanya menatapku penuh
penyesalan dan ketidakenakan.
“Ayo,
kita harus melakukannya sekarang!”
Bergegas
aku dibawa ke ruangan tempat Ima dirawat. Semoga sedikit darah ini bisa
menyelamatkannya, itu saja harapanku. Itu saja.
“Terima
kasih, Nak Patih!”
Namun,
Allah memberi lebih. Ucapan itu terdengar tidak mungkin keluar dari mulut Pak
Sidik yang berwajah sangar. Tapi, setelah dokter bilang Ima baik-baik saja,
memang begitu adanya. Beliau merangkulku.
“Satu dua lima delapan HB, Pak Sidik!” kataku.
“Apa itu?”
“Nomor kendaraan pelakunya.”
Dia merangkulku lagi. Benarlah kata-kata dalam
buku yang kubaca.
“Jangan membenci sesuatu yang
tidak kita kenal karena bisa jadi setelah mengenalnya, kita justru mencintainya.”
( . . . )
“Karena Patih adalah orang yang baik.”
“Karena Patih adalah orang yang baik.”
“Karena Patih adalah orang yang baik.”
Polisi itu membuang napas lelah.
Sepuluh menit Sidik hanya mengulang-ulang kalimat yang sama. Tubuhnya maju
mundur, matanya berair. Semakin lama semakin keras diucapkannya kalimat itu.
Ada sedikit gangguan mental tampaknya.
Sidik ditahan di penjara, menunggu
pemeriksaan esoknya. Di balik sel itu, dapat terdengar olehnya orang-orang
berbincang tentang dia, juga tentang pelaku bom bunuh diri.
“Itu bukan Patih!”
Rasanya dia ingin bunuh diri. Di
tekannya kepala yang sudah memberinya pemikiran gila. “Kenapa aku tidak mati
saja sebelum ini?” Dia terus menghukumi dirinya, meninju-ninju dinding sel
sampai kepalnya berdarah.
“Arrrggh!”
Teriakannya itu terhenti, dikalahkan
oleh sayup-sayup suara yang terdengar. Seperti baru pertama kali mendengarnya,
Sidik terhanyut sampai berurai air mata. Kenangan dengan tetangga itu terngiang
di kepalanya.
( . . . )
“Mari, Pak Sidik, salat!”
“Ya, silahkan! Saya bisa salat di
rumah.”
Aku tersenyum. Itu alasan ketiga
yang kudengar. Dua hari sebelumnya dia bilang kelelahan, kemarin dia bilang
belum mandi. Tapi tak apa, setidaknya kami sudah saling menyapa. Rautnya juga
tak masam lagi.
Bahkan seminggu sebelumnya kami
berbincang pasal tetangga baru.
“Ada apa di depan lorong, Pak Sidik?
Kok, seperti ada yang baru pindahan,” tanyaku menghampirinya yang sedang
mencuci mobil.
“Oh, itu. Tahu rumah abu-abu yang
pagarnya agak karatan?”
“Ya.”
“Setelah sekian tahun rumah itu
akhirnya terjual,” katanya sedikit tertawa.
“Oh, kita punya tetangga baru
rupanya.” Aku geli sendiri mengucapkannya. Apakah satu tetangga baru itu bisa
menghidupkan kompleks yang mati? Hm, mungkin saja. “Siapa yang membelinya?”
“Aku tidak yakin kau senang
mendengar ini.”
“Memangnya siapa?”
“Orang Kristiani, seorang polisi.”
Aku menganga tak percaya. Apakah
Allah mengirimkanku warna pelangi lainnya?
“Kenapa kau senyum-senyum begitu?”
tanya Pak Sidik heran. Dia mengajakku duduk di terasnya. Sambil menikmati
wedang jahe buatan istrinya, aku bercerita.
“Aku dulu tinggal di Desa Pelangi, .
. . “
( . . . )
“Dosa-dosaku amat banyak. Namun apabila aku bandingkan
dengan Rabb, ampunan-Mu jauh lebih besar.”
-Imam Syafi’i-
Mematung Sidik selama suara itu
mengetuk pintunya hatinya yang mengeras. Lafadz demi lafadz mendidihkan
darahnya, seolah darah itu sudah lama membeku. Semakin melunak semakin matanya
berair.
“La ilaha illallah,” bisiknya, berat
sekali.
Siapa sangka dia masih ingat cara
bertayamum. Debu di dinding sel itu menyucikan tubuhnya yang selama ini lalai.
Setiap usapan debu itu dirasa dengan sepenuh hati.
Menangis dia ketika berdiri,
tersedu-sedu, karena bibir itu sudah lama tak membaca doa iftitah maupun
al-Fatihah.
Menangis dia ketika rukuk, lama, baru dia sadar nikmatnya membungkukkan
tubuh untuk Pencipta.
Menangis dia ketika sujud, mengingat betapa sombongnya dia atas harta yang
sama sekali tak membuat keluarganya bahagia.
Menangis dia ketika duduk, dadanya kembang kempis, bibirnya gemetar. Tak
lagi dia hapal bacaannya.
“Allah.”
“Allah.”
“Allah.”
“Ampuuuuni hamba, Ya Allah!”
Dua puluh empat jam sebelumnya, ketika hati Sidik masih membatu, darahnya
membeku, otaknya buntu, dia mengambil keputusan yang salah.
( . . .)
“Patih, tolong! Tolong selamatkan aku! Mereka terus mengawasiku, mereka
akan menangkapku! Tolong, Patih, tolong!”
Pak Sidik?
Sudah lama aku tidak melihatnya. Setelah mengetuk pintuku dengan keras,
teriakannya mengejutkan kelopak mataku yang masih berat sehabis subuh. Berapa
kali diulangnya kata tolong dengan napas menderu sambil menarik-narik tanganku.
Matanya was-was ke segala sudut kantorku yang lengang. Siapa yang mengawasinya
pagi-pagi buta begini? Hanya ada kami berdua. Siapa mereka? Siapa yang akan
menangkapnya? Kenapa dia harus ditangkap? Apa yang sudah dia lakukan?
“Tenangkan dulu dirimu, bicara
pelan-pelan-“
“Tidak bisa!” bentaknya. Hening
sejenak, kemudian,“Bom . . . bom itu,” bisik dia.
“Bom apa?” Aku makin terjaga.
“Bom itu akan meledak sebentar lagi,
Patih!”
“Bom apa, Pak Sidik!” Aku
meneriakinya, memaksanya untuk bicara jelas-jelas. Tapi dia justru terduduk
lemah, enggan berkata-kata. Siatuasi macam apa ini! Aku duduk di depannya,
bingung menunggu jawaban.
Kepala yang bersandar itu terlihat
pucat. “Ima,” bisiknya pelan sekali.
Ima?
Setahun
sebelumnya
“Tuan! Ini Ima dan ibunya ingin bersilaturahmi.”
Itu sudah kali ketiga ibu Ima, istri
Sidik, mengetuk rumah duka tempat teman Ima yang meninggal dunia. Gadis kecil
yang baru naik kelas dua SD itu merengek, rindu dengan Alexa anak tetangga
baru.
Kedatangan tetangga di lorong depan itu memang memberi sedikit perubahan.
Warna pelangi baruku bertambah satu ketika melihat Ima. Betapa tidak, Alexa yang
hanya tinggal berdua dengan ayahnya itu merasa kesepian. Pertemuan pertama
mereka adalah ketika duduk di bangku TK.
Mereka biasa pulang-pergi bersama, mengerjakan PR bersama, bahkan sampai
menginap di rumah Alexa. Tapi orangtua mereka jarang sekali bertemu. Pak Sidik
apalagi. Dia bukan tipe orang yang terbuka untuk orang-orang baru.
Melihat Alexa senang punya teman baru, ayahnya turut bahagia. Keyakinan
yang berbeda bukan masalah. Yang terpenting baginya adalah jangan sampai Alexa
merasa kesepian selama dia tidak di rumah. Putrinya itu adalah satu-satunya
keluarga yang dia punya.
Sejak kedatangannya, kompleks itu sedikit ramai. Karena keseruan mereka,
anak-anak yang selama ini terkurung maupun mengurung diri, terpanggil keluar.
Aku sendiri terkejut, setelah hampir empat tahun aku di sana, aku sama sekali
tidak mengenal anak-anak itu maupun orangtua mereka.
Setelah lulus, aku masih di sana, aktif dalam organisasi-organisasi yang
kuikuti selama kuliah. Bukan tanpa alasan, negeri ini semakin kacau saja di
tahun itu. Kasus rasis dan radikalis masih bergentayangan di setiap kota.
Target serangannya sulit ditebak, tidak memandang siapa dan mengapa. Ratusan
korban meninggal dunia.
Alexa salah satunya.
Di hari pertama Alexa absen, dengan polos Ima bertanya pada gurunya, “Ibu
Guru, Alexa, kok, tidak datang? Dia ke mana, Bu? Dia tidak mati, kan, Bu?”
Sedangkan guru itu tak sanggup mengatakan yang sebenarnya. Meski sudah
mendengar kata teman-temannya yang lain, Ima tidak percaya. Dia menggantungkan
harapan pada gurunya yang baginya tidak mungkin berbohong.
“Kemarin dia pergi,” jawab sang guru.
“Pergi? Pergi ke mana, Bu? Alexa tidak pernah bilang, malah dia berjanji
akan main sore ini ke rumah Ima.”
Guru itu menekuk lututnya mengelus rambut Ima. Di kepalanya ia menyusun
kata-kata. Kasihan sekali Ima, dia tak ingin membuat anak itu sedih. “Dia pergi ke tempat yang saaaangat jauh. Ibu
saja tidak tahu apa nama tempatnya.”
Tidak sepenuhnya berbohong, ia berhasil merubah kematian terdengar seperti
perjalanan yang menyenangkan.
“Kapan dia sekolah lagi?”
Pertanyaan dengan tatapan bulat penuh harapan itu dijawab dengan gelengan.
Hanya gelengan. Guru itu tidak bisa mengarang jawaban tentang waktu. Alexa
tidak mungkin kembali.
Wajah Ima berubah cemberut. Kenapa Alexa tidak cerita? Kenapa Alexa tidak
mengajaknya? Seharusnya hari ini mereka akan membuat kue di rumah Ima bersama
ibunya atau bermain PS di rumah Alexa. Tapi cemberutnya itu tidak lama, baginya
yang penting Alexa masih hidup dan teman-teman yang lain hanya mengarang
cerita. Mungkin Alexa akan pulang satu atau dua hari lagi, pikirnya.
Tiga hari berlalu, menjauh dari prediksi gadis itu. Hampir setiap hari dia
ke rumah Alexa, tapi dia takut. Ada mobil polisi di sana. Ayah Alexa meminta
mereka menjaga rumahnya, pikir Ima.
Perlahan dia mengarang alasan sendiri. Mungkin perjalanan yang jauh itu
membuatnya kelelahan dan kelelahan membuatnya sakit. Untuk sahabat terbaiknya,
dengan kertas warna-warni ia tuliskan harapannya, dari ‘semoga lekas sehat’,
‘kami merindukanmu’, kapan kita main lagi?’, sampai catatan PR-PR dari gurunya.
“Ima, belum selesai PR-nya? Kok, lama banget?” tanya ibunya suatu pagi.
“PR Ima sudah selesai, kok, Bu. Ini PR-nya Alexa. Dia sedang sakit, kasihan
dia,” jawab Ima yang lugu.
Betapa teriris hati istri Sidik mendengar itu. Ia tak ingin anaknya
berlama-lama dengan harapan palsu. Ima harus mendengar kenyataannya. Kenyataan
kalau dia harus mencari teman baru untuk menggantikan Alexa.
“Sayang, Ima tidak perlu mengerjakan PR Alexa, dia tidak akan sekolah
lagi.”
“Kenapa? Alexa pindah, ya?”
Ibunya mengangguk, “Iya.”
“Ke mana?” tanyanya singkat.
“Ke suatu sekolah yang lebih baik.”
“Sekolah apa itu, Ibu?”
“Sekolah Surga, Sayang! Alexa sudah bahagia bersama Tuhan di surga.”
Tidak mungkin.
Mendengar kabar itu, Ima tak percaya. Hatinya yang lugu menolak, Alexa
terlalu kecil untuk merasakan kematian. Ia butuh diyakinkan dengan bukti.
“Ibu tidak berbohong, kan?” katanya lirih. Dalam hati dia berharap ibunya
itu mengangguk.
“Tidak, Nak. Mari, kita ke rumah Alexa!”
“Tidak mau, Alexa tidak ada di rumah, dia belum pulang.”
“Kita akan tanya ayahnya langsung agar kau percaya, sembari mendoakan
supaya Alexa tenang di surga.”
Alexa terpaksa ikut. Tapi masih, dia berharap ada keajaiban terjadi.
Barangkali ibunya salah informasi. Gadis kecil itu tersenyum, mobil polisi yang
kemarin sedang tidak terparkir di sana, mengamini harapan Ima. Yang sayangnya
hanya harapan yang kandas.
Maka hari itu, ibunya ingin mengajarkan padanya bahwa kematian tak mengenal
usia.
Pintu dibuka.
“Tuan?”
Mereka datang di waktu yang salah.
Ayah Alexa sedang tidak ramah untuk menerima tamu. Ima mengenggam erat tangan
ibunya. Sang ibu melindungi putri kecilnya dari mata pistol yang teracung
tegang. Mata lelaki itu seperti singa yang kelaparan. Tinggallah mulut ibu Ima
terkatup seperti induk domba yang ketakutan. Semakin ia melangkah mundur
semakin singa itu menarik pelatuknya.
“Lari, Ima!” teriak ibunya pasrah.
Biarlah ia yang ditembak, pikirnya. Apapun akan dilakukan untuk melndungi
putrinya. Cukup sekali nyawa Ima terancam karena kelalaiannya. Tapi gadis kecil
itu tak benar-benar lugu untuk langsung menuruti perintah sang ibu. Sepersekian
detik berikutnya, pelatuk itu dilepaskan.
“Imaaa!”
Dan sepersekian detik sebelumnya,
Ima yang itu mendorong tameng, ibunya.
Terlalu terkejut untuk berlari menghindar. Peluru yang mengarah perut sang ibu
itu pas mengenai keningnya, memerahkan poninya seketika. Ibunya merangkak cepat
menangkap tubuh kecil yang ambruk tak berdaya.
Teriakan ibu yang malang itu membangunkan kompleks yang sepi sekaligus
menyadarkan singa itu dari mabuknya. Pistol itu jatuh dari tangannya yang
gugup. Seperti lari dari mimpi buruk, dikuncinya rumah dan ia kurung dirinya di
kamar. Tak ada jalan baginya untuk keluar. Warga sudah memenuhi halaman dan
meneriaki namanya.
Polisi mendobrak pintu-pintu dan menemukan singa itu sekarat dengan luka
lebam di kepalanya akibat benturan. Mulutnya berbusa. Ia meneguk pembersih
lantai sebelum jatuh sempoyongan.
Maka hari itu, ibunya telah mengajarkan Ima bahwa
kematian tak mengenal usia.
Maka hari itu, Ima pun mengerti bahwa kematian memang tak
mengenal usia.
“Ima . . . “
Terus Sidik membisikkan nama itu. Entah apa dipikirannya saat ini. Apa
hubungan kecemasannya yang entah sadar atau tidak tadi dengan kesedihan
kehilangan putrinya setahun yang lalu?
“Aku benar, kan?” Sidik akhirnya bicara. “Patih, aku tidak salah, kan?”
Tambah gila dia. Aku mengangkat bahu, tak mengerti.
“Untuk Ima, putri kecilku yang cantik, aku sangat menyayanginya dan aku
melakukan ini untuknya-“
“Melakukan apa?”
Sidik menatapku tajam lantas berseru, “Aku marah pada Alexa dan ayahnya
yang gila. Aku juga marah karena aku gagal menjadi ayah. Apa salah Ima? Apa
salahku? Pertanyaan ini mencekik tenggorokanku setiap hari dan aku hampir mati!
Tapi mereka menemukanku, mereka menawarkan kematian padaku sebagai solusi
terbaik saat ini. Lagi pula, untuk apa aku hidup, ha! Untuk apa?”
Aku bergeming, mencoba tenang agar bisa mentransliterasi teriakannya yang
begitu tersirat. Mereka? Siapa mereka yang menawarkan kematian padanya?
Kematian macam apa pula itu sampai Sidik menerimanya?
Dari bom dan kematian yang keluar dari mulutnya, sepertinya aku tahu siapa
mereka. Setahun terakhir mereka laris jadi bahan perbincangan di segala tempat
dan media. Entah apa yang salah di otak yang mereka lakukan menewaskan puluhan
warga di tempat- tempat umum, juga menewaskan Sidik mengusap wajahnya. Aku bisa
melihat kegelisahan ditambah penyesalan di matanya yang berat. Kegelisahan
untuk meninggalkan pilihan yang membawanya pada penyesalan.
“Tidak,” jawabku mengembalikan tatapan tajam Sidik. “Ini tidak benar,
Kawan! Kau tidak bisa melakukan ini. Aku tahu kau sangat menyayangi Ima, tapi-“
“Tahu apa?! Kau tidak tahu apa-apa, kau belum punya anak! Apa kau tahu
betapa aku tiba-tiba mati berdiri begitu menerima panggilanmu? Aku kehilangan
putriku yang lucu. Apa kau tahu bagaimana keadaan istriku setelah kejadian itu?
Dia tidak mau lagi bicara padaku. Dia terus menghukum dirinya. Dia gila! Aku
pun ikut gila! Kami kehilangan Ima, seorang anak yang di dalam tubuhnya
mengalir darahmu. Aku berharap dia bisa hidup lagi dengan darahmu tapi, . .
. Tuhan! Kejam sekali dia membiarkan Ima
mati!”
Sumpah, aku bingung setengah mati dengan situasi ini. Seorang Sidik yang
aku tidak pernah bicara padanya selama bertetangga beberapa bulan, lalu setelah
insiden anaknya, dia menghilang, sekarang tiba-tiba dia datang ke kosanku.
Selama SMA, sekali aku mengajaknya salat bersama ke masjid, tapi motornya yang
rusak jadi alasan. Padahal aku sendiri setiap hari berjalan kaki ke sana.
Aku mengangkat tanganku, mencoba menenangkannya. “Ya, aku memang belum tahu
rasanya punya anak, aku tidak tahu. Tapi ayahnya Alexa tahu. Ia juga merasakan
yang sama. Dia kehilangan putri satu-satunya-“
“Tapi aku tidak membunuh anaknya lalu kenapa dia membunuh Ima?” teriaknya
lebih keras. Tapi sekeras apapun teriakannya, tatap tidak akan membangunkan
kompleks yang mati.
“Waktu itu kau memang tidak, tapi sekarang kau justru bergabung dengan
pembunuhnya.” Kali ini aku yang menatapnya tajam.
Seminggu sebelum Ima
Hari Minggu adalah hari khusus untuk Alexa dan ayahnya. Sepulang dari
beribadah, Alexa diajak jalan-jalan berkeliling kota, berpoto sana-sini, mengumbar
kemesraan.
Ibu Alexa meninggal saat melahirkan. Tinggallah polisi itu sebagai ayah
sekaligus ibu bagi Alexa. Namun, tiada yang tahu, tempat yang mereka pilih
untuk beristirahat sekaligus mengakhiri kesenangan mereka berjalan-jalan
sorenya, adalah target peneroran.
“Alexa!”
Teriakan sang ayah mengalahkan
kerusuhan akibat bom beberapa menit sebelumnya. Beberapa pria berseragam oranye
menahannya yang hendak kembali masuk ke kedai kopi ternama, yang tengah jadi
lalapan si jago merah. Dia meronta, bilang hendak menyelamatkan putranya. Putri
tunggalnya yang baru naik kelas dua sekolah dasar. Alexa, teman Ima.
Seminggu selanjutnya, gadis kecil
yang lugu itu masih tidak percaya dan tidak terima bahwa dia sudah kehilangan
teman bermain. Kemudian ibunya mengajak dia mengunjungi rumah ayah Alexa yang
tengah lara. Tiada yang tahu apa yang dilakukan orangtua tunggal itu di dalam
rumah sendirian. Tak ada yang dia makan selama seminggu itu selain minum bir
dan merokok. Setiap hari ia menelepon atau kadang dikunjungi polisi. Dia hanya
bilang kalau dia ingin menghukum sendiri pelaku pengeboman itu. Seminggu ini
yang ia tahu, pelaku itu bernama Husin. Baru hari ini polisi mengabarkannya
jika pelaku sudah dibekuk dan ditembak mati di tempat persembunyiannya.
Dibantingnya telepon genggam ke dinding. Ia tak terima.
Mendengar ketukan di pintunya, sosok
ayah ini bak singa yang marah di tengah rasa lapar. Di ketukan ketiga, dia
mengenali dua mangsa yang mengunjunginya.
“Tuan! Ini Ima dan ibunya ingin bersilaturahmi.”
“Bukankah kau tahu itu, Pak Sidik? Dia dalam keadaan depresi, tidak sadar,
ketika melepaskan pelatuk itu. Dia depresi atas kematian putranya. Kematian Ima
di tangannya adalah takdir. Dia hanya perantara untuk urusan maha rahasia itu.
Begitu juga dengan kematian Alexa oleh bom Husin.”
Sidik menelan ludah. “Terserah! Aku memang tidak mengikuti perkembangan
kasusnya. Yang aku tahu hanya Ima sudah mati dan aku ingin menuntut haknya.”
“Hak apa lagi, Pak Sidik?” Aku hampir putus asa.
“Hak untuk hidup. Seharusnya dia masih bisa hidup sekarang. Seharusnya Ima
masih hidup, seharusnya Ima di sini, di samping ayah. Seharusnya istriku tidak
gundah, seharusnya kami masih bahagia . . . “
Aku memeras kepalaku mendengar igauannya yang mulai tak karuan. “Hentikan,
Pak, istighfar! Kau tidak boleh melakukan itu apalagi mengatasnamakan
agama!”
Sidik bergeming.
“Kau tahu Islam tidak mengajarkan permusuhan, kan?”
“Siapa yang mengatasnamakan agama?”
Apa katanya? Siapa?
“Tidak ada bukti yang menyatakan bom bunuh diri, pelakunya masih
berkeliaran di luar sana. Untuk saat ini yang kami ketahui tentang pelaku hanya
identitasnya saja,” ujar polisi pada ayah Alexa sehari setelah kejadian. Ia
memberikan beberapa poto dan kartu tanda pengenal. Pelakunya bernama Husin, 65
tahun, berasal dari pulau seberang.
“Tolong temukan dia segera, aku ingin membela hak hidup anakku!”
“Tenang, Pak, semua akan diproses sesuai dengan hukum.”
“Aku tidak peduli. Aku sendiri yang akan menghukumnya, meskipun itu akan
membuatku dikeluarkan dengan tidak terhormat.”
Setelah kepergian polisi, dengan segenap kegelisahan yang mengendap di
otaknya dan kesepian sebagai orangtua tunggal, sebotol miras di kulkas jadi
tujuan. Diminumnya penghilang kesadaran itu. Dalam pandangan marah menyesakkan,
diremuknya berkas yang diberikan polisi. Halusinasinya membawa Alexa kembali
dan menemaniya duduk di ruang tengah itu sambil menonton televisiMenangis dia
mengenang keadaan jasad anaknya sebelum dimasukkan ke peti, hangus dan nyaris
tidak dikenali. Dia ingin dirinya membakar Husin.
Dua hari berikutnya, polisi datang dengan kabar terbaru, markas Husin sudah
terdeteksi. Ayah Alexa menggeram tak sabar untuk langsung meninju wajah teroris
itu.
Dari penyidikannya atas pertanyaan ‘kenapa harus kedai kopi ternama itu’
menghasilkan isu yang diyakini kebenarannya. Belakangan baru disadari bahwa
pengunjung kedai itu kebanyakan adalah non-muslim, katanya. Itu berarti ada
kemungkinan serangan teror itu dilandaskan ajaran agama.
Salahnya, frasa ‘ada kemungkinan’ itu kurang ditekankan sampai berubah jadi
suatu kepastian di telinga ayah Alexa, apalagi di situasi buruk seperti itu.
“Apa salah agama dalam kasus ini? Kenapa dengan agama kami?”
Pikiran dan hatinya berkecamuk. Dalam pikirannya ia kecewa dan buruk
prasangka dengan agama, tetapi di hatinya ia percaya bahwa agama terlalu suci
untuk disalahkan. Jelas-jelas dia yakin, hatinyalah yang benar. Tapi minuman
itu meracuni pikirannya dan pikiran yang teracuni itu menghambatnya untuk
mengikuti kata hatinya. Di hari-hari yang tersisa, sebelum kunjungan dari Ima,
ia terus berusaha menjernihkan pikirannya. Namun, telepon yang berdering itu
mengubah hatinya.
“Halo, Pak Polisi? Ada kabar apa?”
“Pagi, Pak! Saya menghubungi Anda untuk mengabarkan bahwa pelaku berhasil
ditangkap dalam-“
“Bagus kalau begitu, aku sudah lama menunggunya, aku akan ke sana,”
katanya, hendak menutup percakapan itu.
“Tunggu, Pak!”
Suara polisi di belakang telepon itu menahannya.
“Ada apa lagi?”
“Saya menghubungi Anda untuk mengabarkan bahwa pelakunya berhasil kami
tangkap dalam keadaan mati.”
Sial.
Jantungnya serasa berhenti. Dia tidak boleh mati kecuali di tangannya,
pikirnya. Sementara polisi itu masih berkicau menjelaskan kronologinya.
“Kami kesulitan membekuknya, dia terlalu lincah. Kami mengejarnya sampai ke
lalu lintas kemudian masuk ke hutan. Kami tidak mau menangkapnya hidup-hidup
dengan resiko kehilangan jejaknya lagi, jadi-“
Tok tok tok
“. . . . kami harus membekuknya. Dia bahkan masih menghindar setelah peluru menembus betisnya. Akhirnya kami
menemukan titik yang bagus-“
Tok tok tok
“ . . . . untuk melepaskan pelatuk dan membunuhnya . . . “
Apa? Mati karena satu tembakan? Beruntung sekali dia! Aku tidak mau
kematiannya begitu mudah. Pikirannya berkecamuk lagi, mengalahkan suara hatinya
yang seminggu itu berusaha menenangkan.
“Tuan! Ini Ima dan ibunya ingin bersilaturahmi.”
Matanya mengarah ke pintu. Ima? Teman Alexa. Selama ini dia tak pernah
melarang anaknya berteman dengan keluarga muslim. Tapi, kemungkinan itu
meracuni akal sehatnya ditambah ketidaksadaran dan kemarahannya yang tak
tertahan.
Ditutupnya telepon rumah itu, lalu membuka laci mejanya, mengambil sesuatu.
Dia menggeram seperti singa yang kelaparan.
Dibukanya pintu itu.
“Tuan?”
Mereka datang di waktu yang salah. Ayah Alexa sedang tidak ramah untuk
menerima tamu. Ima mengenggam erat tangan ibunya. Sang ibu melindungi putri
kecilnya dari mata pistol yang teracung tegang. Mata lelaki itu seperti singa
yang kelaparan. Tinggallah mulut ibu Ima terkatup seperti induk domba yang
ketakutan. Semakin ia melangkah mundur semakin singa itu menarik pelatuknya.
“Lari, Ima!” teriak ibunya pasrah.
Biarlah ia yang ditembak, pikirnya. Apapun akan dilakukan untuk melndungi
putrinya. Cukup sekali nyawa Ima terancam karena kelalaiannya. Tapi gadis kecil
itu tak benar-benar lugu untuk langsung menuruti perintah sang ibu. Sepersekian
detik berikutnya, pelatuk itu dilepaskan.
“Imaaa!”
“Agama yang suci itu dijadikan sampul oleh mereka. Tapi yang aku lihat
selama aku bergabung dengan mereka, tidak ada Tuhan di hati mereka.”
“Astaga, kau tahu? Lalu mengapa kau malah bergabung?”
“Aku tidak tahu harus lari ke mana lagi. Aku tidak terima! Hanya karena
polisi itu ditemukan mati maka kasusnya dianggap selesai. Tidak bisa! Aku tidak
butuh uang denda kasihan dari keluarganya. Tidak butuh! Yang aku ingin hanyalah
mendengar Ima-ku tertawa. Aku ingin dia hidup lagi. Aku tidak tahu apa yang
harus aku lakukan-“
“Serahkan semuanya pada Allah, Pak-“
“Apakah Tuhan akan mengembalikan dia?”
Astaghfirullah . . .
“Apakah Tuhan akan mengembalikan Ima? Tidak! Katakan padaku, Patih, kau
banyak belajar tentang agama, bukan? Apakah ini hukuman? Apakah Allah
membenciku?”
Aku menggeleng. “Allah ingin kau kembali, Pak Sidik.”
( . . . )
“Bagaimana keadaanmu hari ini?
Baikan?”
Malam yang panjang untuk bertobat.
Pagi ini dia tampak lebih siap untuk memberikan keterangan.
“Ini surat kabar hari ini.”
Polisi itu menyerahkan koran dengan
‘Teridentifikasi, Pelaku Aksi Bom Bunuh Diri” sebagai judul besarnya.
Setelah melakukan autopsi terhadap
sisa-sisa tubuh, akhirnya identitas pelaku terungkap. Patih Akbar Triwijaya,
S.Pd., 22 tahun, warga kelahiran Kota Nanas. Pelaku berhasil dikenali dari logo
jasnya yang masih tersisa. Logo tersebut merupakan logo komunitas keagamaan
yang saat ini dicurigai telah terdoktrin paham terorisme.
“Tolong hentikan pemberitaan ini.
Dia sama sekali tidak bersalah,” pinta Sidik tegas.
Polisi itu terkesima mendengar pria
di hadapannya tidak lagi gila. “Kabar baiknya, bukan hanya kau yang protes.”
Suara televisi yang tidak jauh dari
ruangan itu terdengar. Seorang reporter tengah melaporkan langsung dari tempat
demo massa.
“Kami dari organisasi dakwah yang
sama dengan Patih. Dia orang yang baik, kok. Jadi tidak mungkin dia bergabung
dengan kelompok teroris. Berita itu bohong.”
“Kami ingin menuntut redaktur koran
itu. Kami tidak terima jika organisasi ini dibubarkan hanya kerena tuduhan
sembarangan. Kami bersih, murni untuk berdakwah, mengikuti al-Quran dan sunnah.
Bahkan kami juga mengutuk terorisme ini. Patih tidak bersalah.”
“Patih tidak bersalah!”
“Patih tidak bersalah!”
Sementara itu, pelangi Patih,
Marthin, Arin, Nyoman, dan Arjun mengunggah video dan status di akun media
sosial mereka.
“Kami tidak percaya berita itu.
Patih teman baik kami sejak kecil. Kami berlima memeluk agama yang berbeda.
Patih tidak pernah mempermasalahkan itu. Kami bahkan sudah seperti saudara.”
“Doa kami semua untukmu, Patih. Kami
percaya jiwamu suci. Semoga Tuhan kita selalu memberkatimu.”
“Palsu! Bukan Patih pelakunya.
Toleransi sudah seperti prinsip dalam hidupnya. Tolong jangan kotori namanya!
Biarkan dia tenang di sana.”
“Jangan percaya berita itu! Polisi
bisa saja salah. Tapi yang jelas aku yakin, Patih, sang pecinta perbedaan,
tidak mungkin sebodoh itu. Pasti ada kekeliruan, mohon diperiksa ulang. Aku
tidak rela nama sahabatku dicemari. Biarkan dia tenang di alam sana.”
“Tapi sayangnya, itu semua tidak
akan berguna di mata hukum selagi tidak ada bukti. Kau harus menceritakan
kronologinya padaku, siapa tahu ada petunjuk yang bisa kita cari,” usul sang
polisi.
Tidak seperti kemarin, hari ini
Sidik lebih tenang untuk menceritakannya.
“Aku kabur dari rumah, meninggalkan
istriku yang gila. Sebelumnya, aku sudah mogok bekerja. Patih sering berkunjung
ke rumah, menasihatiku, tapi aku sama sekali tidak mendengarnya. Sampai suatu
hari, seorang asing datang ke rumahku untuk menawarkan bantuan. Dia
meyakinkanku bahwa dendam harus dibalaskan. Dan bodohnya aku karena terlalu mengikuti
nafsu amarah.
“Selama beberapa bulan melihat
mereka melancarkan serangan., menghitung satu per satu mati, ada yang
ditangkap, ada yang melakukan bom bunuh diri, aku perlahan mengerti nasihat
Patih. Tapi terlambat, mereka sudah menentukan tanggal mainku. Cukup sudah
menjadi penonton, saatnya aku membalaskan dendam. Aku tidak bisa mundur lagi,
mereka mengancam akan membunuh istri juga sanak familiku. Sepanjang malam itu
aku meluruskan pikiran, mencoba mencari solusinya . . . “
( . . . )
“Dengar, Sidik, ini tujuanmu, kau
ingat? Kau kehilangan putrimu, kan? Saatnya bagimu untuk membalaskan demdam.
Biar mereka merasakan kesedihan yang sama. Hanya setelah itu kau bisa mati
dengan tenang.”
“Tidak!” Sidik menggeleng. “Aku
belum mau mati.”
“Itu artinya kau memilih mati di
tangan polisi. Terserah, itu pilihanmu. Kalau begitu pasang bom yang ini.”
Sidik yang sangar itu ketakutan.
Jika dia tidak melakukannya, apa yang akan terjadi pada keluarganya?
Terpaksa.
“Di mana?”
“Dua gedung yang berhadapan di persimpangan
itu. Kami menunggu di atas gedung yang lain, jaga-jaga kalau kau berubah
pikiran dan ingin melihat keluargamu mati mengenaskan. Aku harap tidak, jadi
nanti jika kau berhasil, kita akan menikmati pemandangannya dari atas sana.”
Dengan pikiran kosong, azan subuh
itu mengiringi langkah-langkahnya. Dia dengan mudah menyelinap. Aktifitas kota
belum terlihat. Dengan napas menderu, dipasangnya bom itu tepat di ‘jantung’
kedua gedung. Selagi dia dimonitori, tak ada pilihan lain. Yang penting
keluarganya selamat dulu.
Di saat yang sama, seperti biasa,
Patih melangkahkan kakinya ke masjid.
Setengah jam dia berkutat dengan seperangkat kabel. Ketika bom itu berhasil
dipasang, ditutupinya dengan sedemikian rupa agar tidak ada yang curiga. Itu
bom waktu. Saat mereka mengetahui bom sudah dia pasang, tombol pengaktifannya
ditekan.
Ledakannya satu
jam lagi.
Sidik tidak kuat lagi dengan ulahnya
sendiri. Dia tidak datang ke atas gedung, tempat teroris yang lain menunggu.
Dia kembali ke kompleksnya, menemui Patih.
“Patih, tolong! Tolong selamatkan
aku! Mereka terus mengawasiku, mereka akan menangkapku! Tolong, Patih, tolong!”
“Tenangkan dulu dirimu, bicara
pelan-pelan-“
“Tidak bisa!” bentaknya. Hening
sejenak, kemudian,“Bom . . . bom itu,” bisik dia.
“Bom apa?” Aku makin terjaga.
“Bom itu akan meledak sebentar lagi,
Patih!”
“Bom apa, Pak Sidik!”
Sidik terduduk lemas. Apakah
memberitahu apa yang sudah diperbuatnya akan menyelesaikan masalah? Apakah
Patih bisa menolongnya?
“Ima . . . “ bisiknya. Sementara
Patih menatapnya penuh tanya.
“Ima . . . “
Terus Sidik membisikkan nama itu. Entah apa dipikirannya saat ini. Apa
hubungan kecemasannya yang entah sadar atau tidak tadi dengan kesedihan
kehilangan putrinya setahun yang lalu?
“Aku benar, kan?” Sidik akhirnya bicara. “Patih, aku tidak salah, kan?”
Tambah gila dia. Patih mengangkat bahu, tak mengerti.
“Untuk Ima, putri kecilku yang cantik, aku sangat menyayanginya dan aku
melakukan ini untuknya-“
“Melakukan apa?”
Sidik menatap Patih tajam, lantas berseru, “Aku marah pada Alexa dan
ayahnya yang gila. Aku juga marah karena aku gagal menjadi ayah. Apa salah Ima?
Apa salahku? Pertanyaan ini mencekik tenggorokanku setiap hari dan aku hampir
mati! Tapi mereka menemukanku, mereka menawarkan kematian padaku sebagai solusi
terbaik saat ini. Lagi pula, untuk apa aku hidup, ha! Untuk apa?”
Patih bergeming, mencoba tenang agar bisa mentransliterasi teriakannya yang
begitu tersirat. Mereka? Siapa mereka yang menawarkan kematian padanya?
Kematian macam apa pula itu sampai Sidik menerimanya?
Dari bom dan kematian yang keluar dari mulutnya, sepertinya Patih tahu
siapa mereka. Setahun terakhir mereka laris jadi bahan perbincangan di segala
tempat dan media. Entah apa yang salah di otak yang mereka lakukan menewaskan
puluhan warga di tempat- tempat umum, juga menewaskan Sidik mengusap wajahnya.
Patih bisa melihat kegelisahan ditambah penyesalan di matanya yang berat.
Kegelisahan untuk meninggalkan pilihan yang membawanya pada penyesalan.
“Tidak,” jawab Patih mengembalikan tatapan tajam Sidik. “Ini tidak benar,
Kawan! Kau tidak bisa melakukan ini. Aku tahu kau sangat menyayangi Ima, tapi-“
“Tahu apa?! Kau tidak tahu apa-apa, kau belum punya anak! Apa kau tahu
betapa aku tiba-tiba mati berdiri begitu menerima panggilanmu? Aku kehilangan
putriku yang lucu. Apa kau tahu bagaimana keadaan istriku setelah kejadian itu?
Dia tidak mau lagi bicara padaku. Dia terus menghukum dirinya. Dia gila! Aku
pun ikut gila! Kami kehilangan Ima, seorang anak yang di dalam tubuhnya
mengalir darahmu. Aku berharap dia bisa hidup lagi dengan darahmu tapi, . .
. Tuhan! Kejam sekali dia membiarkan Ima
mati!”
Patih mengangkat tangannya, mencoba menenangkan Sidik . “Ya, aku memang
belum tahu rasanya punya anak, aku tidak tahu. Tapi ayahnya Alexa tahu. Ia juga
merasakan yang sama. Dia kehilangan putri satu-satunya-“
“Tapi aku tidak membunuh anaknya lalu kenapa dia membunuh Ima?” teriaknya
lebih keras. Tapi sekeras apapun teriakannya, tatap tidak akan membangunkan
kompleks yang mati.
“Waktu itu kau memang tidak, tapi sekarang kau justru bergabung dengan
pembunuhnya.” Kali ini Patih yang menatapnya tajam.
“Bukankah kau tahu itu, Pak Sidik? Dia dalam keadaan depresi, tidak sadar,
ketika melepaskan pelatuk itu. Dia depresi atas kematian putranya. Kematian Ima
di tangannya adalah takdir. Dia hanya perantara untuk urusan maha rahasia itu.
Begitu juga dengan kematian Alexa oleh bom Husin.”
Sidik menelan ludah. “Terserah! Aku memang tidak mengikuti perkembangan
kasusnya. Yang aku tahu hanya Ima sudah mati dan aku ingin menuntut haknya.”
“Hak apa lagi, Pak Sidik?” Patih hampir putus asa.
“Hak untuk hidup. Seharusnya dia masih bisa hidup sekarang. Seharusnya Ima
masih hidup, seharusnya Ima di sini, di samping ayah. Seharusnya istriku tidak
gundah, seharusnya kami masih bahagia . . . “
Patih memeras kepalanya mendengar igauan Sidik yang mulai tak karuan.
“Hentikan, Pak, istighfar! Kau tidak boleh melakukan itu apalagi
mengatasnamakan agama!”
Sidik bergeming.
“Kau tahu Islam tidak mengajarkan permusuhan, kan?”
“Siapa yang mengatasnamakan agama?”
Apa katanya? Siapa?
“Agama yang suci itu dijadikan sampul oleh mereka. Tapi yang aku lihat
selama aku bergabung dengan mereka, tidak ada Tuhan di hati mereka.”
“Astaga, kau tahu? Lalu mengapa kau malah bergabung?”
“Aku tidak tahu harus lari ke mana lagi. Aku tidak terima! Hanya karena
polisi itu ditemukan mati maka kasusnya dianggap selesai. Tidak bisa! Aku tidak
butuh uang denda kasihan dari keluarganya. Tidak butuh! Yang aku ingin hanyalah
mendengar Ima-ku tertawa. Aku ingin dia hidup lagi. Aku tidak tahu apa yang
harus aku lakukan-“
“Serahkan semuanya pada Allah, Pak-“
“Apakah Tuhan akan mengembalikan dia?”
Astaghfirullah . . .
“Apakah Tuhan akan mengembalikan Ima? Tidak! Katakan padaku, Patih, kau
banyak belajar tentang agama, bukan? Apakah ini hukuman? Apakah Allah
membenciku?”
Aku menggeleng. “Allah ingin kau kembali, Pak Sidik.”
Lagi, dia bergeming.
“Jika hidupmu tidak disibukkan dengan kebenaran, dia akan menyibukkanmu
dalam kebatilan. Dosa-dosa yang kita perbuat memang terlampau banyak, tapi jika
kita bandingkan dengan Rahmat Allah, ampunan-Nya jauh lebih besar.”
Segumpal daging yang hitam itu meninggalkan setitik putih, membuat dada
Sidik berdesir. Suara jam dinding mengingatkan dia bahwa waktunya tinggal
sedikit.
“Patih, aku minta bantuanmu.”
“Bantuan apa? Katakan saja!”
“Bom, . . . bom itu akan meledak
setengah jam lagi. Aku memasangnya di dua gedung di persimpangan lampu merah .
. . ,”
Patih menelan ludah. Tidak didengarkannya penjelasan Sidik, tangannya
meraih telepon genggam, hendak menghubungi polisi.
“Jangan!” Sidik langsung melempar telepon itu. “Jangan! Kumohon jangan
laporkan ke polisi. Mereka mengawasi dari atas gedung. Mereka akan curiga.”
“Tapi-“
“Kumohon! Kalau kau hubungi polisi maka keluargaku akan mati, Patih!”
Pelik.
Apa yang harus mereka lakukan tanpa polisi? Bantuan apa lagi selain
menelepon polisi yang bisa Patih lakukan. Detik ketika Sidik meminta bantuan,
detik itu juga keselamatan ratusan nyawa tiba-tiba ada di pundaknya.
“Aku tahu!”
Seperti baru mendapatkan pencerahan, Sidik meraih pulpen dan secarik kertas
dari meja Patih. Entah apa yang ditulisnya. Deruan napasnya meyakinkan Patih
bahwa memang ada cara lain selain memanggil polisi.
“Ini!”
“Apa ini?”
“Cara menjinakkan bom.”
Ide gila.
Kertas itu digulungnya, langsung dimasukkan ke sakuku. Aku tak sempat
berkata-kata lagi.
“Ayo, Patih! Kita tidak punya waktu lagi. Kau yang bawa motor.”
Mereka diam saja selama di
perjalanan. Patih mempercepat laju motornya, sengebut yang dia bisa.
Semakin banyak waktu terbuang, nyawa mereka semakin terancam.
“Cepat, Patih!”
Persimpangan itu tak jauh dari
kompleks mereka. Tidak sampai lima menit mereka sampai.
“Aku ke mal, kau ke hotel!
Bomnya di lantai tujuh.”
Patih menahan napas. Dia merasa
nyawanya terancam.
“Patih, ikuti betul-betul
langkah-langkahnya! Jangan sampai salah! Aku tidak mau kau mati karena ulahku.”
“Pak!”
Sidik yang sudah bergegas itu
terhenti.
“Ada apa lagi? Waktu kita tinggal sepuluh menit.”
“Terima kasih sudah menjadi tetanggaku.”
( . . . )
Sidik menangis di hadapan polisi itu. Sungguh, siapa yang tahan hidup
dengan dihantui rasa bersalah?
“Itu kalimat terakhirnya di detik terakhir aku melihatnya. Setelah itu kami
bergegas ke dua gedung itu, menekan tombol darurat hampir bersamaan.”
“Kalau begitu kita dapat petunjuknya.”
Sidik menatap heran.
“Ayo Sidik, kau yang tahu tempat mereka. Orang yang mengawasimu terutama,
kita harus meminta keterangannya.”
Sidik terbelalak. “Ya.”
Bukankah itu bisa menjadi caranya menebus dosa. Pencarian itu memakan waktu
dua hari. Markas mereka setipe dengan markas Husin, jauh di pelosok desa.
“Pak, bisa aku meminta sesuatu?” tanya Sidik di satu kesempatan.
“Apa?”
“Tolong lindungi keluargaku. Orang-orang itu mengancam akan membunuh
mereka. Tolong, Pak! Setelah itu aku akan menyerahkan diri. Hukum mati saja
aku! Asalkan mereka selamat. Tidak apa-apa.”
Dengan suaranya yang berat itu, polisi berkata, “Kenapa kau meminta
seolah-olah kau akan mati saja?”
Bukankah dia memang akan dihukum mati.
“Dengar, Sidik! Fokuslah pada pencarian kita. Selama jadi buruan, kurasa
mereka tidak berani berbuat apa-apa. Mereka pasti sedang bersembunyi. Jika kau
berhasil menuntun kami menemukan mereka, kau tidak akan dihukum mati. Hukum
tidak sekejam itu. Apalagi sejak awal kau sudah mengakui kesalahanmu. Tuhan
saja mau memaafkan, kenapa kita tidak?”
Mata Sidik berair mendengarnya. Allah mendengar doanya. Sungguh Maha
Pengasih Dia, Maha Penyayang Dia, Maha Pengampun Dia. Mulia sekali seorang
Patih, mati demi menyelamatkan nyawa orang-orang yang sama sekali tidak
mengenal dan tidak dikenalnya.
Dia syahid.
Sidik tak pernah mengerti nasihat anak itu. Selama ini dia hanya
mengangguk-angguk meladeni. Baginya agama hanyalah pemecah.
Patih memilih jurusan dakwah. Dia mempelajari bagaimana caranya
menyampaikan pesan agama. Dia belajar betapa sesama muslim kita bersaudara dan
mengingatkan satu sama lain adalah kewajiban. Hidup dan matinya hanya untuk
Allah Ta’ala.
Pesan itu kini terus menggema di telinga Sidik.
“Andai saja kamu tahu bagaimana Allah menangani
urusan-urusanmu, hatimu pasti akan luluh karena mencintainya.”
Sidik mencintai Allah. Ya, Sidik melihat bagaimana Allah menangani
urusan-urusannya meski baru sekali berdoa.
“Doa
yang dipanjatkan saat tahajjud itu ibarat anak panah yang melesat mengenai
sasaran.”
Ya. Sekali Sidik melakukannya dalam hidup. Malam itu, di sel yang gelap
dengan berurai air mata.
“Hidup ini hanya sesaat, maka isilah setiap momen
kehidupan itu dengan ketaatan.”
Itulah yang disesalinya. Betapa dia baru sadar bahwa dunia ini hanya ujian
saja. Dia menyesal karena selama ini dia hanya mengejar yang fana, sedangkan
dia sama sekali tidak bahagia melainkan kosong jiwanya.
“Kita tidak bisa mengharapkan keselamatan jika kita tidak menempuh
jalannya, Pak Sidik.”
Sidik menangis. Andai saat itu dia memanggil polisi saja, mengenyampingkan
egonya yang hanya mementingkan diri sendiri. Sejujurnya, keluarga bukan alasan
mengapa dia tidak mau memanggil polisi. Itu tidak lain karena dia tidak mau
mati di penjara karena tertangkap basah.
“Jika seseorang itu bijak, perhatiannya atas dosanya
sendiri akan mengaahkan perhatiannya terkadap kesalahan orang lain.”
Masih ingat Sidik bagaimana senangnya Patih mendapat tetangga Nasrani.
Sedangkan dia yang ‘Islam KTP’ saja memandang remeh. Sejak dulu Sidik tidak
mudah percaya dengan orang lain apalagi orang asing.
“Tingkatkan ibadah kita sebelum tanggung jawab dan
kesibukan meningkat. Karena kalau kebalik, Pak, kita tidak punya waktu lagi
untuk memperbanyak ibadah.”
Ketika kalimat itu keluar dari mulutnya, tepat setelah tiga hari Sidik
menolak ajakannya pergi ke masjid, rasanya Sidik ingin menamparnya. Sok bijak,
pikirnya. Kalau saja bukan karena darah Patih yang menyelamatkan Ima, mungkin
sudah diludahinya anak itu.
Dua hari berlalu.
“Kami berhasil menangkap mereka.”
Sujud syukur Sidik mendengarnya.
Tidak hanya satu, melainkan dari belasan anggota, hanya satu yang berhasil
lolos. Tapi si pengawas yang mengancam Sidik itu tidak berhasil melarikan diri.
Satu tembakan di betis melumpuhkannya.
“Mati kau!” teriaknya begitu melihat Sidik.
Tak ada cara lain bagi polisi untuk memeriksanya selain cara kekerasan.
Babak belur sudah dia.
“Ceritakan dengan jujur!”
Pria itu mendengus marah. Kesetanan.
“Itu bukan bom bunuh diri, kan?”
“Hah, dasar polisi tidak becus! Ke
mana biji matamu?! Tidak ada bom yang meledak selain bom yang dipasang
ditubuhnya.”
Polisi itu mengerti jalan ceritanya
sekarang.
“Kau sendiri yang memasangkan bom
itu. Mengaku saja!”
Teroris itu tertawa.
( . . . )
Dari atas gedung yang berbeda, dia
mengawasi. Langkah Patih tertangkap oleh matanya. Masuk lewat pintu belakang
membuatnya curiga. Di tambah bunyi tombol darurat. Dia marah. Otaknya yang
tidak waras itu menuntut sebuah ledakan terdengar di telinganya.
Ketika semua pengunjung keluar, dia
masuk lewat pintu utama sambil teriak-teriak seolah sedang mencari seseorang
untuk diselamatkan. Dia menuju lantai tujuh.
Masih ada sedikit pengunjung
tersisa.
Bom itu diikatkan dekat kabel
listrik, tidak bisa ditarik atau akan meledak sebelum waktunya. Menyiramnya
dengan air juga percuma. Sesampainya di sana, Patih membuka gulungan kertas
dari Sidik.
Dilakukannya setiap langkah dengan
hati-hati, mulai dari mematikan sambungan listrik, lalu membuka penutup kabel.
Tinggal melakukan langkah terakhir.
Ya, Tuhan.
Potong kabel berwarna kuning.
Tidak ada kabel kuning di sana, yang
ada kabel hitam putih.
“Ada yang bisa kubantu, Kawan?”
Seseorang menghampiri.
“Kenapa kau tidak keluar? Ini
berbahaya!”
“Tidak jika kau potong kabel
kuningnya.”
Seseorang itu adalah teroris yang
gila.
“Kau benar.”
“Tunggu apa lagi? Potong saja!”
“Kau yang memotongnya! Aku tidak
tahu yang mana yang kuning,” pintanya cemas.
Bukan hanya yang kuning. Dia tidak
tahu apapun yang berwarna selain hitam putih.
Teroris itu tertawa. “Astaga, jadi
kau buta warna.”
Patih menatap pria itu heran. Dia
bukan salah satu pengunjung.
“Kasihan sekali pahlawan kita.
Sayangnya, aku orang yang salah untuk mengajarkanmu tentang warna. Kau mau
membantu Sidik, kan? Gunakan instingmu! Tebak yang mana yang kuning!”
“Kau gila!”
Dua menit lagi. Patih berkeringatan.
Teleponnya sudah dibanting, tidak bisa menghubungi Sidik. Sedangkan Sidik
mungkin sudah melarikan diri, takut ditangkap karena salah satu pihak mal
maupun hotel pasti sudah menghubungi polisi.
Patih berkonsentrasi. Dia sangat
menyukai warna, meskipun dia tidak pernah melihatnya.
Dia suka yang berwarna seperti
pelangi, meski pelangi bak menghilang sejak dia lahir.
“Pelangi itu adalah simbol
perbedaan yang bersatu.”
Patih ingat kata ibunya. itulah
mengapa Patih menyukai perbedaan. Sejak kecil dia bermain dengan teman-teman
dari ras dan agama yang berbeda.
Arin.
Kau tahu betapa senangnya berteman
dengan keturunan Cina bagiku?
Rasanya seperti mengenal warna
merah.
Marthin.
Kau tahu betapa senangnya
berteman dengan orang Kristiani bagiku? Rasanya seperti mengenal warna hijau
pohon cemara yang tetap hidup bagaimanapun musimnya.
Arjun.
Kau tahu betapa senangnya aku
melihat biksu? Rasanya seperti mengenal warna oranye pada swastamita.
Waktunya tinggal satu menit lagi.
Sementara teroris itu terus memperloknya dengan pura-pura membantu. Jelas dia
tidak bisa dipercaya.
Ada empat kabel di sana. Mengingat
pelanginya, sepertinya dia mengenal tiga warna di antaranya. Mungkinkah sisanya
warna kuning?
Warna kuning?
Bagaimana warna kuning itu?
Selama SMA Patih suka sekali
melukis. Tapi tanpa Arin mendampinginya, mana tahu dia warna apa yang harus dipolesnya.
Ah, arunika. Kata ibu arunika itu
kuning menyejukkan mata.
Patih bersiap jiwa raga sebelum
memotongnya. Teroris itu memandang tidak percaya, meyakinkan kabel yang
dipilihnya benar.
“Kau benar-benar buta warna?” tanya
teroris itu ragu.
Dipotongnya kabel itu.
Lengang sejenak. Alhamdulillah.
“Aku memang buta warna, tapi bukan
berarti aku tidak bisa melihat.”
Bom yang jinak di sepuluh detik
terakhir itu melegakan hatinya, sebaliknya, menaikkan pitam si teroris.
“Tidak mungkin. Kau akan menyesal
karena sudah datang ke sini!”
Di tangan pria itu, sebuah tas
dengan seperangkat bom di dalamnya, bom yang tidak dipilih Sidik beberapa jam
sebelumnya, ia hendak memakaikannya ke Patih.
Pukulan keras ke kepalanya
membuatnya tidak sadar beberapa detik. Beberapa detik yang sangat berharga bagi
pria itu untuk merekatkan alatnya. Tas itu tidak bisa dilepaskan atau akan
meledak sebelum waktunya. Patih memejamkan matanya.
Tidak ada lagi yang bisa dia
lakukan.
“Berdoalah! Panggil Tuhanmu itu!”
Teroris itu tersenyum licik, puas
melihat waktu mundur. Patih akan mati lima menit lagi, pikirnya. Tidak ada yang
bisa menyelamatkannya, bahkan Tuhan sekalipun.
Patih tidak berdoa agar dia hidup
melainkan agar dia tidak mati sia-sia.
( . . . )
“Dia buta warna. Ha ha ha . . . Temanmu itu, Sidik, buta warna!”
Sidik yang mengintip dari jendela
bergeming. Dia bukan tetangga yang baik. Dia sama sekali belum mengenal Patih.
Patih mengidap akromatopsia,
penyakit keturunan. Dunia ini hanya monokrom baginya. Hitam putih. Patih sering
diejek teman-temannya di desa, tempat dia lahir, karena tidak tahu warna
sandalnya, warna balonnya, dan warna bajunya. Ibunya sedih, diajaknya Patih
kecil pindah ke tempat yang indah, Desa Pelangi.
Sidik tidak tahu menahu soal itu.
Selama dia suka diajak mengobrol sembari menikmati wedang jahe, tak penah Patih
menceritakan penyakitnya. Tak pernah juga Sidik tertarik untuk bertanya,
mengapa setelan Patih selalu hitam putih.
Sidik mengerti sekarang. Tepat saat
bom di mal sudah dia taklukan, dia sudah berencana untuk melarikan diri.
Suara sirine polisi itu membuatnya gemetaran. Tapi suara ledakan lima menit
selanjutnya membuatnya sadar, teroris itu masih mengawasi. Tapi kenapa harus
Patih yang menanggungnya?
“Terima kasih, bersiaplah untuk
hukuman gantung besok pagi!”
“Lepaskan aku! Lepaskan!” Pria itu
meronta-ronta dengan badan terikat di kursi.
“Pemirsa, hari ini, protes
demonstran beberapa hari yang lalu, terbukti benar. Pelaku akhirnya
menceritakan kronologi yang sebenarnya setelah dipaksa. Patih tidak bersalah.
Besok pagi, pelaku akan dikenakan hukuman gantung. Sementara itu, Sidik, yang
kita kenal sebagai pria mistrius itu dijatuhi hukuman penjara beberapa bulan
untuk menjalani rehabilitasi.”
Semakin hari, Sidik semakin tenang. Kegelisahannya akan betapa malang
kematian yang dirasakan tetangganya, terjawab. Patih tidak mati sia-sia.
Seorang korban yang berhasil menyelamatkan diri lewat pintu darurat memberikan
kesaksian setelah beberapa hari mengalami koma.
“Sebelum pingsan, aku melihat seseorang dengan bom di punggungnya.”
( . . . )
Patih memandang sekitarnya. Bibir
dan lidahnya tak berhenti melatih syahadat. Sakarotul maut itu sangat
menyakitkan, ia tahu itu, dia banyak membaca. Kematian adalah sesuatu yang
dipersiapkannya sejak lama.
Kematian yang manis.
Akhir yang bahagia.
Husnul khotimah.
Dia tidak ingin menikmati detik-detik terakhirnya dengan duduk saja.
Listrik yang mati membuat penghuni kamar lantai atas turun menggunakan tangga.
Suara jeritan terdengar. Patih menghitung sendiri waktunya.
Tiga menit.
Satu menit dia berlari menaiki tangga, menuju tempat pengunjung itu
terjatuh. Seorang wanita. Kepalanya terbentur setelah tergelinding. Wanita itu
memandangnya aneh. Barangkali dia tahu, nyawanya hendak diselamatkan oleh orang
yang nyawanya juga terancam. Tapi Patih tahu apa yang dia putuskan. Hidup
wanita itu masih bisa diselamatkan. Hidup dia tidak.
MashaAllah!
Bagi Patih, menolong wanita itu adalah ibadah terakhirnya. Langsung dia
berlari ke dalam ruangan lantai bawah, untuk mengakhiri hidupnya dengan lafadz
yang sudah terlatih di lidahnya.
“La ilaha illallah.”
Bum
( . . . )
“Setelah kejadian itu, kisahnya
diburu oleh para penulis nasional bahkan internasional. Buku-buku mereka laris
di semua pasar. Blogger-bogger juga. Puisi Patih jadi kofer buku sejarah
di semua tingkat. DanPatih dikenal dengan ‘mata garuda’. Lukisannya yang dia
buat tanpa mengenal warna itu sangat indah.”
“Bagaimana Pak Wo tahu ceritanya?”
“Pak Wo berteman dengannya?”
Lukman tertawa. “Semua orang tahu
cerita Patih, Nak.”
“Tapi Pak Wo berteman, kan?”
“Iya, kami satu jurusan. Pak Wo
bangga sekali pernah satu kelompok dengannya dan wisuda di hari yang sama.”
“Apakah Pak Wo juga ikut Aksi Damai
itu?”
“Iya, Patih sendiri yang mengajak
Pak Wo.”
Setelah perkara itu usai, kompleks
tempatnya tinggal itu seolah bangun dari tidurnya. Penyesalan tampak di wajah
penghuni perumahan itu ketika melewati kos yang dulu ditempati Patih.
Andai bisa menjadi tetangganya
yang baik.
Begitu selesai menjalani masa
rehabilitasi, Sidik pulang dengan penampilan yang berubah drastis. Celana
cantung dan jenggotnya yang tersisir rapi. Dia merawat istrinya yang
sakit-sakitan di rumah. Kompleks yang hidup itu membuatnya mulai berbaur.
Ajakan Patih untuk salat di masjid,
yang saat itu selalu ditolaknya, kini menggerakkan kaki Sidik dengan
sendirinya.
Pelangi baru Patih sudah sempurna.
Sementara Arin, Marthin, Nyoman, dan
Arjun, menjadi buruan wartawan yang menanyai mereka dengan sejuta kata-kata
bijak Patih. Sebenarnya kata-kata itu semuanya milik Imam Syafi’i, idolanya
dalam belajar.
“Pak Wo?”
“Ya.”
“Apa itu arunika?” tanya Hasan lugu.
“Arunika, sinar matahari pagi.
Biasanya kekuningan.”
“Swastamita?” Kali ini giliran Ali.
“Kebalikan arunika. Swastamita
artinya pemandangan sore yang indah saat matahari terbenam.”
Kedua keponakannya itu berpikir.
“Konghucu warnanya merah, Buddha
warna oranye, Kristen warna hijau, arunika warnanya kuning, swastamita oranye,
bagaimana dengan Islam? Apa Patih tidak memberikan warna untuk agamanya
sendiri, Pak Wo?”
“Islam itu spesial di hatinya.
Ibunya banyak membekalinya dengan al-Quran dan sunnah. Sejak kecil dia hanya
kenal dua warna, hitam dan putih. Baginya islam itu adalah kebenaran dan
kebenaran identik dengan warna putih. Hitam sebaliknya. Baginya, kekurangan itu
adalah kasih sayang Allah padanya. Buta warna mengajarkannya yang mana yang
baik dan mana yang tidak.”
Kedua cucunya mengangguk kagum.
“Lain lagi dengan toleransi.”
“Apa warna toleransi, Pak Wo?”
“Toleransi bagi Patih adalah
abhati.”
“Abhati?”
“Apa itu abhati?”
“Cahaya suci. Setiap agama memiliki
warna yang berbeda, tapi tanpa toleransi mereka sama sekali tidak terlihat
indah. Yang ada hanya kegelapan.”
“Bagaimana dengan Islam?”
Lukman tersenyum mendengar
pertanyaan cucunya.
“Islam itu, kan, warnanya putih,
pasti tetap terlihat, kan, Pak Wo?” tebak Ali. “Iya, kan?”
“Hasan, coba tutup matamu!”
Hasan menuruti kata Lukman.
“Apa yang kamu lihat?”
Hasan hanya menggeleng. Ali
mengikuti adiknya, menggeleng juga.
“Hitam, gelap, Pak Wo!”
“Hasan, Ali, tidak ada orang di
dunia ini yang bisa melihat tanpa cahaya. Sama seperti negeri kita, Indonesia
yang kaya akan perbedaan. Tanpa toleransi kita tidak akan menyadari betapa
indahnya perbedaan itu.”
Ketika Patih mendengar kabar bahwa
seorang kiai dibunuh oleh seorang ateis, saat itulah dia belajar. Toleransi
adalah cahaya kebenaran dari Tuhan. Maka orang yang tidak percaya Tuhan tidak
diberikan cahaya itu. Sesampainya di rumah, puisi itu dituliskannya.
Kepada negeri yang mengajarkanku betapa
indahnya dunia yang penuh warna
Aku merindukanmu
Apa kabarmu di masa aku benar-benar tak bisa
melihat?
Masih samakah indahmu?
Jangan biarkan orang-orang buta warna itu
memudarkan cerahmu!
Kepada negeriku,
jangan pernah berhenti merevisi, mengevaluasi
segala sistem, memupuki persatuan yang hampir mati, mengambil ibrah dari setiap
masalah, dan menguatkan tekad untuk kembali mengibarkan bendera kebanggan kita
di langit dunia
Bendera itu bewarna merah putih
Negeri itu bernama Indonesia
Di masa depan semua mata tertuju padanya
Di masa depan semua kata menjunjung
persatuannya
Di masa depan duni berdecak kagum karena di
masa depan kelak dia bertambah indah dengan warna-warninya
Aku tahu itu
Meski aku tidak bisa melihatnya
Kepada
saudara seiman kutitipkan pesan
Agama yang indah ini adalah rahmat
Disampaikan oleh Tuhan, Yang Maha Pengasih,
Maha Penyayang,
melalui Jibril, penyampai ayat-ayat cinta-Nya,
kepada Muhammad, kekasih-Nya yang dicintai-Nya
dan amat teramat mencintai kita,
umatnya, yang tak kuasa berhenti, senantiasa
bersalawat untuk cintanya
Maka jangan dustakan fitrahnya
Di bawah naungan Bhinneka Tunggal Ika kita
bersaudara
Ingatlah, sejarah pahit dan cita-cita bangsa
ini mengikat kita
Indonesia, milik kita bersama
“Musuh terbesar Islam adalah muslim yang bodoh, yang ketidaktahuannya
menyebabkan ia melakukan hal yang tidak toleran. Tindakan itu menghancurkan
citra Islam yang sebenarnya dan ketika orang-orang melihatnya, mereka
menganggap bahwa itulah Islam.”
-Sheikh Ahmed Deedat-
What a great story Qoqom, i love itπ buatlah lebih banyak cerpen agar kegabutan ku teratasi wkwk
ReplyDeletethanks for reading this, Feliks, it means a lot to me
Deleteπ