Akromatopsia Dalam Cerita


Ayatullah


                Akromatopsia : Pancarona di Negeri Pancasila



“Toleransi terhadap sikap intoleran adalah pengkhianatan.”
#silenceisbetrayal
“Demikian statusnya di akun media sosial ketika hendak mengikuti Aksi Damai 212 di Bundaran HI, dua puluh sembilan tahun yang lalu. Aksi paling damai yang pernah terjadi di dunia. Mereka yang terpanggil hatinya bahkan rela menyeberang pulau. Kendaraan massa melumpuhkan lalu lintas, tapi ratusan santri dengan semangat jihadnya berjalan kaki dari kota tetangga.”
Semangat sekali Lukman menceritakan itu kepada kedua keponakannya yang tidak terasa, sekarang sudah duduk di bangku SD. Hasan dan Ali sebenarnya sudah tahu cerita ini, tetapi mereka masih antusias mendengarnya.
“Apa yang mereka lakukan?” tanya Lukman. “Bentrokan?”
Mereka menggeleng.
“Teriak-teriak seperti kebanyakan demo?”
Mereka menggeleng lagi.
“Merusak fasilitas negara?”
Gelengan mereka semakin kuat.
“Tidak sama sekali.”
Lukman menarik napas panjang. “Mereka salat, berdzikir, mengingat Yang Maha Pengasih, yang telah memberi negeri ini kemerdekaan. Mengingat Yang Maha Penyayang, yang menjadikan negeri ini kaya akan perbedaan. Perbedaan ras, suku, dan agama. Untuk mempertahankan kekayaan akan keberagaman itulah mereka berkumpul seraya berdoa. Apa doanya, Ali?”
“Ya Allah, jadikanlah negeri kami, Indonesia, negeri yang damai!” jawab Ali seraya mengangkat tangan diikuti adiknya, Hasan.
“Cerdas!” puji Lukman.
Bagi mereka yang tidak memahami barangkali akan mencibir, sungguhpun mereka muslim. Menyedihkan sekali. Tidakkah mereka mengerti berapa banyak darah suci para mujahid, pahlawan-pahlawan kita yang berjuang dengan menggemakan kalimat tauhid? Mereka tidak takut mati untuk bangsanya, rakyatnya, dan agamanya.
Seperti tertidur selama pengajian atau jangan-jangan sama sekali tidak datang, mereka tidak sadar. Agama ini begitu besar perannya dalam mencapai kemerdekaan.
“Siapa yang memerdekakan bangsa ini?” Lukman melanjutkan ceramahnya.
“Pahlawan?” jawab Hasan ragu.
“Para pahlawan itu tak bisa berbuat apa-apa jika tanpa kuasa dan kehendak-Nya. Kemerdekaan bangsa ini adalah karena pertolongan Allah. Setiap malam mereka bangun, berdoa untuk negara. Enggan mereka menundukkan punggung, melakukan seikirei pada masa kolonial Jepang. Tanpa pernah putus harapan, mereka terus memupuk semangat jihad karena bagi mereka, mati di jalan Allah adalah cita-cita.”
Kedua keponakannya itu tersenyum kagum.
“Kapan bangsa kita merdeka?”
“Tujuh belas Agustus tahun empat lima,” jawab mereka kompak.
“Benarkah?”
Anak-anak itu saling pandang. Mereka yakin mereka benar.
“Mendekatlah,” pinta Lukman. “Negeri ini merdeka di hari yang agung pada bulan yang suci. Jum’at, 9 Ramadhan, 1364 H. Bapak proklamator dan segenap warga yang menghadiri peristiwa itu tengah berpuasa. Sedikit sekali yang tahu fakta ini. Salah satunya pemilik status itu.”
 “Kalian tahu, siapa yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia?”
Hasan dan Ali berebut mengangkat tangan seolah itu lomba cerdas cermat saja. Tapi sayang keduanya juga lupa.
“Secara institusi, negara kita langsung mendapatkan pengakuan dari Mesir. Namun, secara personal, Mufti Palestina-lah yang langsung mengucapkan selamat kepada kita. Sedikit juga yang tahu ini, salah satunya pemilik status itu.
Lukman kembali mengenang sosok ‘dia’.
“Dia sudah memenuhi panggilan Ilahi. Tenang. Seantero negeri ini berdoa untuknya, mengagumi jiwanya yang indah. Ikut dalam aksi itu adalah sebagian kecil dari kepeduliannya yang nampak. Kisahnya kini tiada yang bisa lupa. Belasan tahun kemudian, laksana pahlaman kontemporer, dia dikenang.”
Terutama oleh seniman.
“Lukisannya dipajang di setiap gedung pemerintahan, menjadi pengingat bagi pejabat tentang persatuan yang kuat. Paduan warna yang tak ternilai dengan kata. Mereka menggelengkan kepala, mengingat bagaimana sang pahlawan melukiskannya.
“Bukan siapa-siapa dia semasa hidupnya. Tapi siapa-siapa dia bukan sembarangan pula. Dia pelajar, tapi bukan pelajar biasa. Dia teman, tapi bukan teman biasa pula. Di akhir hayatnya, istimewanya ini menyelamatkan puluhan nyawa. Namun, dari yang puluhan itu, kisahnya menyebar, menginspirasi negeri ini untuk bangkit. Negeri yang hampir buta ini berdecak kagum akan caranya melihat dunia.”
Juga caranya melihat pelangi.
“Selain lukisan, puisinya turut disenandungkan, membuat jiwanya hidup. Puisi itu adalah cita-citanya. Sederhana tapi penuh makna.”
Lukman benar. Sederhana tapi berwarna.
 

Kepada negeri yang mengajarkanku betapa indahnya dunia yang penuh warna
Aku merindukanmu
Apa kabarmu di masa aku benar-benar tak bisa melihat?
Masih samakah indahmu?
Jangan biarkan orang-orang buta warna itu memudarkan cerahmu!
Kepada negeriku,
jangan pernah berhenti merevisi, mengevaluasi segala sistem, memupuki persatuan yang hampir mati, mengambil ibrah dari setiap masalah, dan menguatkan tekad untuk kembali mengibarkan bendera kebanggan kita di langit dunia
Bendera itu bewarna merah putih
Negeri itu bernama Indonesia
Di masa depan semua mata tertuju padanya
Di masa depan semua kata menjunjung persatuannya
Di masa depan dunia berdecak kagum karena di masa depan kelak dia bertambah indah dengan warna-warninya
Aku tahu itu
Meski aku tidak bisa melihatnya
 

           
Puisi itu menjadi kofer buku paket sejarah di setiap sekolah. Di bawahnya tertulis nama sang legenda. Buku itu dibuka, seorang guru memulai pembelajaran dengan mengucap salam. Anak-anak TK-nya menjawab kompak dan penuh semangat.
Hari ini mereka akan belajar sesuatu yang dulu baru diajarkan dasarnya di bangku SD, dibuat membosankan di SMP, diteruskan hanya sebagai teori sampai SMA, dan gagal diterapkan di kehidupan nyata.
            “Anak-anak, hari ini kita akan belajar to-le-ran-si. Belajar apa anak-anak?”
            “To-le-ran-si!”
            “Apa itu toransi, Bu?” tanya seorang siswa.
            “Toleransi, Adit, bukan toransi. Coba diulang, Nak!”
            Dengan sabar, sang guru mengajarkan anak-anak itu. Dia harus menuntaskan pelajaran ini. Dulu, kata ini dianggap begitu berat untuk diajarkan di usia mereka. Namun, sang penulis puisi itu menyadarkan guru-guru di negeri ini bahwa satu kata itu sangat berarti untuk ditanamkan segera guna menjaga perdamaian dan persatuan.
Semakin cepat ia ditanam hari ini, semakin rimbun dia esok hari.
            “Jadi, Bu, toleransi itu apa?”
            Sang guru tersenyum, anak-anak sudah bisa mengucapkannya dengan benar juga sudah keringatan setelah menuliskannya di buku masing-masing.
            “Toleransi itu adalah cinta.”
            “Ooo!”
            Beberapa anak membentuk kata itu dengan kedua telapak tangannya, lalu menempelkannya ke mata. Beberapa lagi menggeleng tidak mengerti. Sang guru kembali tersenyum.
            “Dengan toleransi, hidup kita akan bahagia.”
            “Bagaimana bentuk toleransi itu, Bu?”
            Sang guru merangkul beberapa anak. “Toleransi itu bentuknya seperti senyuman, pelukan, rangkulan, sapaan, saling memberi, saling memaafkan, . . . “
            Mendengar tutur gurunya, anak-anak bergandengan, mengayunkan kaki mereka, dan saling menebar senyum. Namun tidak semuanya. Seorang anak terpojok, menunduk dekat mejanya. Ia memandangi sepatunya yang menganga.
            “Hei, kenapa Fiko?”
            “Sepatunya jelek sekali, Bu! Ha ha . . “ cetus seorang anak.
            Tidak. Sepele sekali nampaknya tapi sebenarnya tidak. Sudah ribuan jiwa melayang, bunuh membunuh hanya karena masalah dompet siapa yang tebal, memperebutkan hak harta warisan, bahkan sekadar saling sikut saat antri pembagian sembako. Semuanya di mulai dari pola pikir dangkal yang diabaikan lantas dipelihara dan diwariskan sampai jadi kebiasaan yang menjamur di negeri ini.
            “Adit, nggak boleh bicara seperti itu!” Sang guru berbisik, “Anak-anak, kalian ajak Fiko bergandengan juga, ya!”
            Mereka mengangguk, bersama-sama mengandeng Fiko.
Anak itu tersenyum haru. Mereka diajarkan berteman tanpa melihat ‘sepatu’ siapa yang bagus, tanpa melihat ayah siapa yang lebih terhormat.
            “Nah, itulah bentuk toleransi, Adit! Sekarang, Adit mau bergabung atau tidak?”
            Ibarat kertas putih yang masih baru, sedikit noda bisa dihapus dengan mudah. Anggukan Adit menghapus noda di hatinya. Kata toleransi yang diajarkan sejak kecil bak diukir di atas batu. Sang guru tidak ingin mereka lupa.
            “Minta maaf dulu sama Fiko, ya!”
            Anak itu mengangguk lagi lantas malu-malu menghampiri Fiko.
            “Fiko, maaf.”
            Fiko mengangguk, anak-anak pun bersorak ria. Satu jiwa terselamatkan. Mereka semua bergandengan, mengayunkan kaki ke kiri dan ke kanan dengan sepatu yang sudah dilepas agar Fiko tidak merasa sedih. Bahagia sekali sang guru melihatnya. Betapa sederhananya kata toleransi untuk dipahami.
            “Ibu Guru, apa yang terjadi jika tidak ada toleransi?”
            Seorang anak bertanya. Nampaknya mereka sudah lelah mengayunkan kaki sampai terjatuh-jatuh.
            “Dunia ini akan hancur. Orang-orang tidak mau lagi berteman. Pertengkaran di mana-mana. Mengerikan sekali!”
            Itu bukan kebohongan untuk sekadar menakut-nakuti anak kecil seperti anak-anak dulu diajarkan takut kepada hantu. Itu kenyataan. Seperti pernikahan tanpa cinta, keluarga mana yang bahagia. Yang ada hanya menghasilkan penderitaan abadi dan kecacatan mental penuh dendam dalam benak keturunannya.
Anak-anak saling merangkul lagi seakan takut dunia akan hancur jika mereka terlepas. Detik itu, sebagian kecil penerus bangsa diberi bekal utama.
Cinta pada perbedaan.
            Begitu mereka tumbuh kemudian duduk di bangku SD, mereka diajarkan warna-warna. Siapa yang tak kenal lagu ‘Balonku Ada Lima’? Ya, lagu itu hampir terlupakan dari kepala anak-anak kita yang terpengaruh budaya barat. Hancur moral mereka dulu akibat mencerna bahasa yang belum waktunya untuk dipahami oleh otak mereka yang polos. Maka lagu itu diajarkan kembali.
            “Balonku ada lima . . . Rupa-rupa warnanya . . . Hijau, kuning, kelabu, merah muda, dan biru . . .  meletus balon hijau, DOR . . . hatiku sangat kacau . . . balonku tinggal empat . . . kupegang erat-erat.”
            Itu lagu kesukaan sang pahlawan kontemporer. Dinyanyikannya sambil membayangkan betapa senangnya memiliki lima balon dengan warna berbeda bagi anak usia lima tahun. Lalu, bayangkan juga ketika salah satu balon itu pecah, entah itu hijau atau merah muda warnanya, niscaya anak itu akan menangis. Hatinya sangat kacau. Dia menggerutu, semestinya balon itu ada lima warna, tapi sekarang tersisa empat. Begitu tangisnya reda, ia genggam empat balon tersisa erat-erat, seakan genggaman itu akan melindunginya agar tidak meletus.
            Demikian lagu itu mengajarkan tentang keutuhan yang dibangun dengan perbedaan dan pentingnya rasa memiliki untuk mengukuhkan keutuhan itu.

Kepada saudara seiman kutitipkan pesan
Agama yang indah ini adalah rahmat
Disampaikan oleh Tuhan, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang,
melalui Jibril, penyampai ayat-ayat cinta-Nya,
kepada Muhammad, kekasih-Nya yang dicintai-Nya dan amat teramat mencintai kita,
umatnya, yang tak kuasa berhenti, senantiasa bersalawat untuk cintanya
Maka jangan dustakan fitrahnya
Di bawah naungan Bhinneka Tunggal Ika kita bersaudara
Ingatlah, sejarah pahit dan cita-cita bangsa ini mengikat kita
Indonesia, milik kita bersama

Di waktu yang sama dan kofer buku dengan puisi oleh penulis yang sama, seorang guru PKn memulai pelajaran di salah satu kelas SMP.
            “Pemberontakan DI/TII,” katanya sambil menulis di papan.
            “Pak!” seorang anak mengangkat tangan. “Maaf, tapi bukannya hari ini Bapak bilang kita akan belajar toleransi?”
            “Ya, itulah yang akan bapak ajarkan hari ini, tapi sebelum itu, . . . biarkan sejarah negeri kita yang berbicara.” Pak guru bercerita, “Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia adalah . . “
            Panjang lebar sang guru menjelaskan. Dari hasil perjanjian Renville yang mengecewakan, SM. Kartosuwiryo sebagai otaknya, kronologinya, semua dijelaskan dengan bahasa yang menarik agar muridnya dapat menangkap.
            “Jadi, Kartosuwiryo dan pasukannya ingin menjadikan negeri kita sebagai Negara Islam?” Seorang anak menarik kesimpulan.
            “Bukankah itu bagus, Pak?”
            Sang guru cepat-cepat menggeleng. “Tidak, itu salah total. Itu sangat buruk. Sejarah negeri kita begitu panjang. Bukan saja agama kita yang mengisinya. Bukan cuma Islam yang berperan. Negara ini dari dulu berdiri kokoh dengan lima tiang agama. Ada yang tahu, agama apa saja itu?”
            Seorang anak menjawab. “Katolik, Protestan, Islam, Hindu, dan Buddha.”
            “Ya, benar sekali. Dan sekarang kita bertambah kuat karena sejak zaman presiden keempat, tiang ketuhanan di negeri kita ini bertambah satu, yaitu-“
            “Konghucu,” jawab muridnya yang sipit, begitu semangat.
            “Ya, betul sekali.”
            “Tapi, Pak, bukankah tiang agama itu salat lima waktu?”
            Sang guru tersenyum. “Salat lima waktu adalah tiangnya Islam. Sedangkan Islam adalah salah satu tiang ketuhanan di negeri kita. Maka apabila kita tidak salat, tiang Islam akan runtuh. Jika tiang Islam runtuh, negeri kita akan goyah. Begitu juga dengan agama lainnya. Kita sama-sama mengukuhkan tiang kita.”
            “Artinya, setiap orang harus totalitas dalam agamanya?”
            “Ya, benar sekali, Dina!”
            “Tapi, Pak, setiap orang pasti menganggap agamanyalah yang benar. Bagaimana jika mereka membenci agama lain?”
            Sang guru kembali mengeleng. “Kita semua memiliki Tuhan yang sama, kan?”
            Anak-anak mengangguk.
            “Tidak mungkin Tuhan menjelekkan hambanya kepada hamba-hamba yang lain. Bapak tidak bisa mengatakan bahwa setiap agama itu benar, tapi bapak percaya bahwa setiap agama mengajarkan kebenaran dan toleransi.”
            “Pak, apakah Kartosuwiryo berhasil mendirikan Negara Islam?”
            Sang guru tertawa. “Tentu saja tidak, Nak! Lihatlah negeri kita! Sampai hari ini semboyan Bhinneka Tunggal Ika tetap memayunginya.
            “Apakah Kartosuwiryo berdosa, Pak? Sementara dia berjuang untuk agamanya.”
            Sang guru menarik napas panjang. “Dia memang dihukum mati setelah penangkapan dengan taktik ‘pagar betis’, tapi Allah yang menghukuminya. Yang bapak tahu, sebagai muslim dia merasa Islam adalah agama yang benar dan itu wajar. Namun, ketika dia mulai berpikir bahwa selain Islam adalah keyakinan yang salah, maka dia secara tidak sadar sudah berada di pihak yang salah. Padahal, Nabi Muhammad mengatakan bahwa Islam adalah agama yang lurus dan toleran.”
            Anak-anak mengangguk, mengerti sekaligus terkesima dengan kata-kata gurunya. Mereka paham, orang-orang yang benar tidak akan menganggap yang lain salah.
Itulah toleransi, mengajarkan bahwa perbedaan bukan tentang siapa yang benar, melainkan tentang bagaimana mereka saling melengkapi.
           
            Lukman melanjutkan ceramahnya.
“Tidak terdengar lagi kasus tawuran pelajar SMA adalah buah dari pohon toleransi yang ditanam sejak dini. Bayangkan, betapa dangkal pikiran pelajar dulu. Mereka bertengkar untuk menentukan nama sekolah mana yang keren. Generasi yang gagal itu tinggal sejarah kelam, agar generasi penerus belajar, negeri ini cukup sudah terpuruk.”
Ali dan Hasan mengangguk setuju.
“Kemerdekaan memang sudah kita raih,” seru Lukman, makin semangat dengan tangan dikepal. “Tapi jangan jadikan kemerdekaan itu sebagai euforia sesaat. Perjuangan pahlawan kita belum selesai. Tugas mempertahankan kemerdekaan yang jauh lebih berat sekarang berada di pundak kita. Tugas itu berada di pundak kalian, Nak!” ujar Lukman seraya menepuk pundak kedua keponakannya. “Jadilah pemuda yang berjiwa pahlawan!”
            Alangkah indahnya negeri ini! Semua itu tak lain adalah hasil revisi, sistem yang dievaluasi, ibrah dari setiap masalah yang dulu mengancam negeri ini. Semua itu berawal dari kisah yang begitu menyayat hati, menyadarkan semua yang membacanya. Kini namanya abadi dalam sejarah. Dialah penulis puisi itu. Sederhana dan penuh makna.
            “Pak Wo, bisakah Pak Wo ceritakan pada kami tentang penulis puisi itu?”
            “Iya, Pak Wo! Hasan suka sekali dengan puisinya.”
            Lukman tersenyum. “Kisahnya di mulai belasan tahun yang lalu.”


            “Selamat siang, Pemirsa! Saat ini saya sedang berada di TKP, Hotel X, tepatnya di Jalan Kuning, dekat simpang lampu merah di mana pengeboman terduga teroris baru saja terjadi satu jam yang lalu, tepatnya pada pukul tujuh waktu Indonesia bagian barat. Bisa dilihat di belakang saya, saat ini pengevakuasian korban masih dilakukan oleh pihak kepolisian.
Evakuasi dapat dilakukan karena api dapat dengan cepat dipadamkan. Untuk sementara jumlah korban tewas diketahui berjumlah sekitar tujuh orang yang saat ini sedang diautopsi untuk dipulangkan kepada pihak keluarga secepatnya. Baiklah, Pemirsa, untuk mengetahui kronologinya lebih lanjut, di sini saya ditemani oleh salah seorang saksi yaitu Bapak Nathan. Selamat siang, Pak Nathan!”
            “Selamat siang!”
            Dengan terengah-engah, Pak Nathan menceritakan apa yang masih tidak dia percaya telah terjadi di depan matanya. Dari lokasi pemasangan bom, semuanya sudah diberi peringatan oleh orang yang masih dalam tanda tanya.
“Boooom! Awas ada bom! Ayo, semuanya keluar! Cepaat!”
Pak Nathan bersama dengan pengunjung dan karyawan mal langsung berhamburan mengosongkan gedung itu begitu tombol darurat ditekan. Dan begitu mereka keluar dari mal tersebut,  penghuni hotel di seberang jalan juga bernasib sama.
“Ada apa ini?”
“Apa yang terjadi?”
Pengunjung saling bertanya tanpa mendapat jawaban. Mereka lalu memadati jalan raya dan membuat macet lalu lintas. Pihak hotel yang ikut keluar karena panik, kebingungan, lantaran tombol darurat itu di luar kendali mereka. Polisi kemudian dihubungi.
Bum
Terlambat. Api mendobrak, memecah dinding lantai pertama hotel, sebuah ruangan dekat meja tamu. Suara orang ramai sahut-menyahut, saling bertanya, apa yang terjadi sebenarnya, dan suara klakson pengemudi yang terjebak gerombolan pengunjung mal dan hotel itu pecah sejenak.
            Sirine mobil polisi dan ambulan yang berdatangan turut meramaikan. Massa diamankan. Api segera dipadamkan. Beberapa polisi dengan pakaian lengkap langsung melakukan pemeriksaan ke mal yang dikhawatirkan juga akan meledak.
            “Patiiih!”
            Langkah polisi itu tersentak, melihat seseorang tiba-tiba berlari keluar sambil berteriak. Aneh. Tadinya polisi mengira semua pengunjung sudah diperingatkan. Ketika dihentikan, pria itu memberontak, hendak masuk ke hotel yang belum padam.
            “Pria itu sangat mencurigakan. Dia berlari menuju sumber ledakan, sambil teriak-teriak tidak jelas,” ujar Pak Nathan.
            “Baiklah, terima kasih banyak, Pak Nathan, atas informasinya. Pemirsa, saat ini saya juga sudah bersama salah satu polisi, yaitu Bripda Ari. Bripda Ari, jadi siapa pria mistrius tersebut?”
            “Kami belum bisa memastikan identitasnya sebelum pemeriksaan dilakukan. Tetapi yang lebih mencengangkan lagi, dalam mal itu ditemukan seperangkat bom yang sudah dijinakkan. Dan untuk ledakan di hotel, dugaan sementara, pelakunya melakukan aksi bom bunuh diri.”
            “Terima kasih, Bripda Ari. Nah, pemirsa, selain bom yang ditemukan jinak dan pria mistrius yang masih dalam pemeriksaan, tim kami mendapat informasi bahwa satu dari tujuh korban jiwa dinyatakan masih hidup alias dalam keadaan koma. Selain itu juga ditemukan pengunjung yang berhasil menyelamatkan diri lewat pintu darurat. Belum ada keterangan lebih lanjut dari para saksi untuk saat ini disebabkan . . eh, kondisi mereka yang masih terkejut dengan kejadian ini. Baiklah, pemirsa, sekian yang dapat saya sampaikan, kembali ke studio.”

            Selain meramaikan pemberitaan di televisi, besoknya, hotel yang terbakar hangus itu jadi halaman depan setiap koran yang terbit dengan judul yang beragam.
            Lagi, Kasus Intoleransi Mengancam Integrasi
            Hotel X Hangus, Mal Seberang Selamat
            Bom Jinak dan Pria Mistrius Ditemukan
            Teror di Hotel X
            Dua Bom, Satu Ditemukan Jinak
            Mistrius, Pria di Balik Pengeboman
            Pelaku Bom Bunuh Diri Belum Teridentifikasi
            Sampailah surat kabar itu ke pelanggannya. Bermacam-macam tanggapan keluar dari mulut mereka. Kecewa mereka pada negeri yang kedamaiannya kini dipertanyakan.
            “Apa lagi kalau bukan karena agama?”
            “Ya, Tuhan! Radikal sekali pelakunya.”
            “Hancur, sudah! Mau jadi apa negeri ini diteror terus?”
            Innalillahi wa inna ilaihi rajiun! Dosa apa negeri ini, Gustii!”
            “Ya, Allah, selamatkanlah negeri kami!”
           
            Di waktu yang sama, sebuah meja persegi di sebuah ruangan di penjara yang gelap, dua orang duduk berhadapan dengan satu lampu penerangan di atasnya.
            “Jawab!”
            Suara hentakan meja yang makin keras memenuhi ruangan. Pria mistrius itu masih membungkam. Pertanyaan polisi terngiang-ngiang di telinganya.
            “Siapa kau?”
            “Apa yang kaulakukan di gedung itu?”
            “Kenapa kau ingin ke hotel itu?”
            “Siapa kau?”
            “Dan siapa itu Patih?”
            Pertanyaan terakhir membuat pria mistrius itu terangkat kepalanya. Tatapannya tajam. Setelah menarik napas panjang, ia bersuara, “Akulah pelakunya.”
“Apa?” Polisi itu berdiri, terkejut seperti mendengar batu bicara. “Apa kau bilang?”
“Akulah teroris yang radikal dan sedang jadi perbincangan itu. Aku!”
Lengang sejenak.
“Aku tahu,” polisi itu duduk kembali. “Namamu Sidik, kan? Kau anggota baru mereka. Aku hanya memancingmu untuk mengakuinya. Tindakanmu yang mencurigakan kemarin sudah cukup untuk meyakinkanku bahwa kaulah pelakunya. Aku sudah sering menangani kasus seperti ini.”
Polisi itu kembali menatapnya sangar. “Tapi, kenapa bom itu jinak?”
Pria mistrius yang berganti jadi teroris bernama Sidik kembali membisu.
“Hei, aku bertanya!”
Tatapannya kosong, sulit diartikan. Tidak ada ketakutan di matanya melainkan gabungan rasa sesal dan rasa bersalah. Ia duduk menyandar dengan tangan terlipat, tetap menunduk, menatap kegelapan di lantai bawah meja.
“Bicaralah atau aku akan menggunakan kekerasan,” ancam si polisi.
Pria itu mengedipkan matanya yang berat dengan bibir sedikit terangkat. Dia sama sekali tidak merasa terancam.
Atau dia mengalami kegilaan?
            Polisi itu berbisik sinis, “Apa kau tahu ada berapa nyawa yang terancam di luar sana? Apa kau tahu ada berapa anggota keluarga yang bertaruh mental? Apa kau tahu ada berapa golongan yang khawatir akibat ulahmu? Hah? Akibat ulah bodohmu itu, sudah ada dua puluh satu korban jiwa, kau tahu?”
            “Aku anggota baru!” bantahnya.
            Polisi itu menahan emosi. “Baiklah, sudah ada enam korban jiwa akibat ulahmu kemarin,” ralatnya.
            “Harusnya lebih banyak dari itu! Harusnya lebih banyak,” jawab teroris itu dingin. Akhirnya dia bersuara lagi.
“Kau gila!” Polisi itu hampir meninjunya. Namun, dia ingat, kondisi psikis pelaku tidak memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan dengan jalan kekerasan. Yang harus dia lakukan adalah menggali sebanyak-banyaknya informasi.
“Lalu kenapa bom itu tidak aktif? Kesalahan teknis?” ejeknya.
            Bom itu tidak mungkin dijinakkan oleh teroris, pikir si polisi. Entah apa yang dia lakukan di gedung itu, tidak masuk akal saja jika nanti teroris itu mengaku bahwa penjinakan itu adalah ulahnya sendiri. Tapi lihatlah pria itu, dia seperti orang gila yang bingung antara sedih dan bahagia. Ejekannya tak digubris.
            “Dengar!” Suara polisi terdengar lembut. “Aku menghargai kejujuranmu, aku sangat menghargainya. Jarang aku menghadapi pelaku yang langsung mengakui kesalahannya.” Dia menarik napas. “Boleh aku tahu, kenapa kau mau mengaku?”
            Cara lembutnya itu ternyata berhasil. Tak ada gunanya memukul pelaku teroris yang bahkan tidak takut dengan bom.
Sidik mengangkat kepalanya. “Karena aku ingin bertaubat dan pengakuan dosa adalah langkah pertamanya. Ya, aku ingin bertaubat. Kau paham?”
            Tubuh Sidik bergetar mendengar kalimatnya sendiri barusan. Betapapun dia bergabung dengan kelompok teroris itu, ia masih punya sebagian hati yang merindu kedamaian. Dosanya laksana cambukan agar dia sadar bahwa Allah selalu mengawasinya. Dia ingin kembali ke pangkuan Tuhan dengan iman.
Ekspresi wajahnya sangat meyakinkan. Jika benar yang dia katakan, maka penjinakan itu mungkin saja memang dia yang melakukan.
Polisi itu mengangguk. “Menarik! Andai semua mantan teroris sepertimu. Lalu, beritahu aku, ya atau tidak kalau kau sendiri yang menjinakkan bom itu?”
“Kau tidak akan percaya jawabanku,” katanya, secara tidak langsung membenarkan prediksi polisi itu.
“Dengar, jika kita punya bukti, mungkin hukumanmu akan diringankan. Tapi aku tidak bisa membelamu. Kau harus cari pengacara.”
Sidik bergeming, dia sama sekali tidak tertarik. Bukan hukuman yang sedang dia khawatirkan.
“Kalau kau tidak mau, artinya kau siap menanggung apapun bentuk konsekuensinya?“
            “Apapun bahkan mati sekalipun, aku terima. Tidak apa-apa, aku pantas mendapatkannya. Bukan masalah lagi buatku, tapi-“
            “Tapi apa? Kau punya permintaan terakhir?”
            “Patih,” gumamnya.
            “Itu sudah jadi pertanyaanku dari tadi. Siapa Patih?”
            Sidik memejamkan matanya. Berat sekali rasanya menjelaskan siapa seseorang bernama Patih itu.
“Dia . . . “
( . . . )

            Assalamualaikum, Pak?”
            “Ah,ya, . . . walaikumsalam,” jawabnya singkat, kembali mencuci motornya.
            Setiap Minggu, hari ketika aku bisa melihatnya di teras rumah, aku selalu menyapanya, dan selalu begitu responnya. Tidak ada kata-kata lain yang aku dapatkan. Apakah memang seperti ini yang namanya kompleks? Sepinya seperti kota mati. Semua rumah berpagar tinggi, semua pintu dikunci, seperti tidak berpenghuni. Atau orang-orang di kompleks ini memang sangat sibuk?
Entah.
Sejujurnya, basa-basi itu sangat dibutuhkan. Tidakkah dia asing melihatku sebagai tetangga baru? Ya, aku baru pindah ke sini dua hari yang lalu. Merantau, menyeberang pulau untuk melanjutkan perkuliahan. Cobalah dia tanya dari mana asalku, aku akan dengan bangga menceritakannya.
Desa Pelangi
            Ibu yang menamainya. Pelangi itu indah, kata ibu. Namun, pelangi bak menghilang sejak aku lahir. Yang ada hujan berbadai. Entah siapa yang mencurinya. Ibu tak pernah putus asa untuk menunjukkanku bagaimana indahnya pelangi.
“Pelangi itu adalah simbol perbedaan yang bersatu.”
Aku ingat sekali kata ibu. Itu sebabnya kami tinggal di desa itu. Ada banyak agama maupun ras yang menghuninya.
Duhai, semangat sekali aku melihat pelangi kembali. Aku melukisnya dengan pertemanan. Mereka, teman-temanku, berasal dari  agama yang berbeda. Kami berteman dari kecil sampai SMA. Aku tidak akan pernah melupakan mereka.
Keakraban kami di tengah perbedaan cara beribadah membuatku mengerti apa itu toleransi. Bukan sekadar kata yang bermakna menghargai atau menghormati perbedaan, melainkan lebih. Aku mendapatkannya seperti serendipiti di tengah badai rasis, radikalis, dan fanatis orang-orang yang dengan bangga memproklamirkan diri mereka sebagai teroris.
“Ya, Tuhan!” gumamku.
Secangkir kopi yang kuhirup pagi itu membawaku bernostalgia. Aku merindukan pelangiku. Arin, Marthin, Arjun, dan Nyoman.
Saat aku masih duduk di bangku SMA
 . . .
“Seorang pelukis buta . . . “
            Arin memulai sajaknya di belakangku.
“Seorang pelukis buta bermain dengan kanvas dan kuas di tangannya, mencipta garuda bangkit menjenguk negerinya, terbang di langit yang tak lagi biru melainkan merah karena hari ini seorang sipit meregang nyawa . . .”
            Aku tersenyum. Hari sabtu selalu ditunggu. Aku menyebutnya, hari kebebasan berekspresi. Sabtu kali itu, kuputuskan mengunjungi art room untuk menuangkan sketsa pikiranku yang prihatin akan merah putih. Kasus-kasus rasis dan radikalis membuatnya berkibar, bukan karena angin, melainkan karena badai yang membuatnya terlihat panik di puncak tiang.
            “Pelukis buta? Huh!” komentarku. Diksinya, aku kurang setuju. Bagaimana seorang buta melukis garuda? Meski kutahu, Arin punya maksud lain.
            Di belakangku, Arin diam saja. Biasanya puisi Arin lebih panjang dari itu. Menoleh aku padanya dan kudapati wajahnya muram. Dia sendiri tidak setuju dengan diksinya.
            “Arin?”
            Bukannya menjawab, dia menatapku sayu, “Apa mataku sipit?”
            Seorang sipit meregang nyawa . . . Tertulis sebagai headline di surat kabar hari ini, ‘Cukup Mei 98’. Aku merebut surat kabar itu dari tangan Arin yang terkulai lemas. Kuakui betapa jago ia bermain kata, tapi baru kali ini ia terjebak sendiri di dalamnya. Seorang keturunan Cina dikeroyok sampai tewas. Arin terkenang ibunya.
            Aku menarik kursiku mendekat. Aku tidak ingin menjadi seperti kebanyakan orang yang tahunya hanya komentar sana-sini, sok punya solusi tanpa disuarakan sedikitpun. Sadar, saat ini aku bukan siapa-siapa untuk prihatin pada negeri. Setidaknya bagi Arin, aku adalah seorang teman. Mungkin aku bisa menghiburnya.
            “Kenapa menunduk malu begitu? Bukankah mata yang sipit itu anugerah? Hei, dengar! Siapa mereka itu yang berani mengganggu gadis dengan mata cantik sepertimu, hah? Kau punya aku, kau punya banyak teman.”
            Perlahan Arin mengangkat kepalanya diikuti garis senyum di pipinya yang tembam. “Bisa saja, kau. Gombal! Bukannya itu zina namanya dalam kitabmu? Kau ini, dosa tahu!”
            Aku tertawa melihat cerewetnya kembali. Kau tahu betapa senangnya berteman dengan keturunan Cina bagiku?
Rasanya seperti mengenal warna merah.
            “Lagi pula aku butuh lebih dari sekadar teman untuk merasa aman. Aku ingin hak kami ditegakkan,” kata Arin.
            “Tenang, Rin! Aku yang akan jadi pemimpin nantinya.”
            Arin tertawa juga akhirnya.
            Kasihan sekali Arin. Hatinya terlalu lemah untuk pura-pura tegar dengan senyumnya. Aku tahu, ibunya adalah salah satu korban bertahan dari kerusuhan Mei 98. Massa itu membakar rumah orang-orang Tionghoa. Ayah Arin tewas terbakar bersama mobilnya dalam perjalanan pulang. Untungnya seseorang menolong ibu Arin melarikan diri ke bandara, atau nasibnya lebih malang karena jadi korban pelecehan.

            Hari Sabtu berlalu. Selepas subuh, aku menikmati arunika Minggu yang hangat dengan berlari, menjenguk sebagian kecil dari negeri yang damai, dan memamerkan senyum pada tetangga.
Meraki.
Melihat anak-anak berlarian sambil bernyanyi, membuatku mengingat masa kanak-kanakku yang cukup bahagia.
            “Hei, Patih!”
            Aku berhenti, berjabat dengan Marthin dan orangtuanya di persimpangan. Berhubung lelah, kuputuskan untuk berjalan, hitung-hitung menemaninya ke gereja di depan jalan.
            “Ah, cak engkleng . . . Mama dulu sering memainkannya,” kata ibu Marthin, juga memperhatikan anak-anak itu.
            “Syukurlah, masih ada yang memainkannya. Zaman sekarang jarang sekali anak-anak main di luar.”
            “Iya, Pa, kebanyakan anak-anak sekarang keasyikan mengendap di kamar,” sahut Marthin.
            “Lho, bukannya kamu juga suka mengendap di kamar, Tin?” tanyaku, menggoda.
            “Ah, kau ini, Pat! Maksudku, mereka itu mengendap di kamar gara-gara keasyikan main gawai. Main, itu lho, apa namanya . . .  permainan daring,” ujar Marthin. “Aku, kan, belajar.”
            “Eh, serius belajar?” Mamanya ikut-ikutan menggoda.
            Marthin dan aku sudah seperti saudara. Mamanya bahkan memintaku memanggilnya ‘mama’ dan sering marah kalau aku lupa. Kami saling mengunjungi saat hari-hari besar keagamaan, baik natal maupun hari raya idul fitri. Ibu bilang, aku tidak boleh mengucapkan selamat natal. Uniknya, mereka juga tidak keberatan.
            “Kau sudah membaca koran pagi ini?” tanya Marthin, setelah berbincang-bincang soal permainan mamanya.
            “Belum.”
“Kami turut berduka, Kawan!”
            “Untuk apa?” tanyaku heran.
            Marthin menarik napas panjang sebelum menjawab, orangtuanya mengelus pundakku. “Kemarin, aku sedih melihat Arin. Kabar tentang tewasnya keturunan Cina, kau tahu?”
            Aku mengangguk cepat, penasaran.
            “Hari ini, seorang kiai terbunuh di pulau seberang.”
            Aku bergeming. Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun.
            “Menurut kabar, suara adzan jadi alasan.”
            Astaghfirullahaladzim.
Teganya dia. Kata Ayah Marthin, dia ateis. Mungkin karena itulah orang-orang tidak menerima perbedaan. Maka mulai hari itu kupikir, siapapun yang menolak perbedaan, artinya dia tak bertuhan. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
            “Terima kasih, Kawan!”
            Kuantar dia sampai depan pagar gereja, melambaikan tangan ketika dia masuk. Sebuah replika pohon cemara untuk hari natal nanti berdiri di depan gereja. Kau tahu betapa senangnya memiliki teman kristiani bagiku?
Rasanya seperti mengenal warna hijau pohon cemara yang tetap hidup bagaimanapun musimnya.
            Lain lagi dengan Arjun.

Tin
            Suatu hari aku tak sengaja melihatnya berjalan kaki.
            “Keselamatan bagimu, Patih!” ucapnya begitu motor kuhentikan.
            Aku tertawa. Arjun suka sekali membaca. Semua buku dia baca, termasuk buletin yang kudapatkan dari anggota rohis di sekolah sehari sebelumnya. Di sana tertulis bahwa muslim tidak boleh mengucapkan salam kepada non-muslim. Dia menggangguk mafhum, wajar saja baginya.
            “Kau berjalan siang-siang begini mau ke mana? Vihara?”
            Arjun mengangguk.
            “Ya, sudah, sekalian! Biar aku antar.”
            Sengaja, meski vihara lebih jauh dari tempat percetakan yang kutuju, aku hanya ingin melihat sesuatu. Begitu sampai di kuil yang dibangun sederhana itu, aku melihat biksu dengan pakaian polos yang membalutnya. Aku sering melihatnya di televisi dan sekali melihat Arjun sendiri yang memakainya. Kau tahu, kenapa aku ingin melihat biksu? Kau tahu betapa senangnya aku berteman dengan Arjun?
            Rasanya seperti mengenal warna oranye yang indah pada swastamita.
Hari-hariku tak pernah berlalu tanpa teman. Jika orang sudah kusapa, aku akan mengenalnya sedalam yang kubisa. Tak peduli siapapun dia, bagaimanapun rupanya ataupun keadaan ekonominya, aku ingin memperbanyak teman. Semakin ia berbeda semakin menyenangkan.
            Pernah suatu hari, setelah kami berdoa dengan masing-masing cara, Nyoman menyela.
            “Jangan!”
            Marthin, aku, dan Arin menoleh serentak, sesaat sebelum sup itu tercicip kaldunya.
            “Kenapa, Nyoman?”
            Kami memandang Nyoman kebingungan. Anak rantauan dari Bali ini sejak tadi sama sekali tidak menyentuh makanan di meja.
            “Oh, tidak, tidak apa-apa. Di keluargaku, aku tidak pernah-“
            “Oh, maaf!” potong Arin sembari menyingkirkan mangkuknya. “Nyoman, kami lupa. Tidak sopan sekali kami makan daging sapi di depanmu.”
            Aku menepuk dahi, benar-benar lupa. Aku lupa bilang ke ibu kalau salah satu temanku beragama Hindu. Marthin juga lupa. Dia tertawa sambil curi-curi mencicipi sesendok kuah.
            “Maaf,” ucapku tidak keenakkan.
            “Ah, aku yang minta maaf. Aku jadi mengganggu makan siang kalian.”
            Marthin menggeleng sehabis minum. “Tidak, kok. Sama sekali tidak. Jangan sungkan-sungkan! Kau masih punya lauk yang lain, kan, Pat?”
            Aku tertawa. Bisa saja Marthin, tebakannya benar. Masih ada lauk lain di dalam tudung. Aku membawa semangkuk sup daging sapi itu ke belakang. Nyoman jadi serba salah.
. . . .
            Kuhirup lagi kopi hitamku yang hampir dingin. Aku sungguh betah tinggal di sana dan sangat berat begitu pertama kali melangkahkan kaki dari gerbangnya.
Universitas tempatku kuliah berbasis Islam, hampir tidak mungkin untuk menemukan teman yang berbeda keyakinan. Saat itu yang aku harapkan, aku akan mendapatkan pelangi baru dari tetangga baru. Meski bukan berbeda agama, mungkin perbedaan karakter juga seru.
            “Ah, mungkin belum waktunya.”

 ( . . .)

            “Dia tetanggaku.”
            Setelah lama terbata-bata mengatur napas, dia hanya mengatakan itu.
            “Apa urusan dia dalam kasus ini? Kenapa kau meneriaki namanya.”
            “Dia ada di hotel itu.”
            “Apa yang dia la-“
 “Dia yang saat ini belum teridentifikasi tapi sudah dicap sebagai tersangka teroris bom bunuh diri, “ ujarnya sekali napas.
            Polisi itu menahan napas. Sedikit sulit untuk mempercayai pernyataan pelaku. “Jadi itu bukan bom bunuh diri?”
            Sidik menggeleng. “Terserah kalau kau tidak percaya. Tapi aku berani bersumpah, aku mengatakan yang sebenarnya. Dia bukan teroris.”
            “Kenapa dia di hotel itu?” tanya polisi itu lagi.
            “Karena dia orang yang baik,” gumamnya.

( . . . )


            “Imaaa!”
            Pengendara motor itu kabur, tapi aku sempat melihat nomor kendaraannya. Kompleks yang sepi memang memberinya kelonggaran, tidak denganku. Sudah lama aku tidak melihat Ima. Si kecil itu ternyata baru bisa berjalan. Entah bagaimana, dia berjalan terlalu jauh, lepas dari pengawasan ibunya.
            “Tanteee!” teriakku.
Aku memangku tubuh kecil dengan darah di kepala. Tak ada suara tangis. Tabrakan itu terjadi secepat kilat. Dua kali benturan, badan motor dan aspal, membuat wajahnya pucat, terkejut. Aku memeriksa nadinya, dia masih hidup.
Ibunya, dengan pakaian masaknya, berlari panik ke arahku. “Ima! Ya, Tuhan! Ima! Nak, bangun, Nak!”
Kuangkat tubuh itu ke teras rumah Pak Sidik.
“Ayo, Tante, kita bawa ke rumah sakit.”
Istri Pak Sidik yang kepanikan itu bingung, apa yang harus dilakukan.
“Oh, iya, tante hubungi dulu ayah Ima.”
“Biar aku saja, Tante!” pintaku. Tangan wanita itu begitu gemetaran bahkan sekadar untuk memegang handphone.
Namun, menjadi seorang pegawai tinggi di perusahaan terkenal membuat Pak Sidik begitu sibuk sampai tidak sempat melihat teleponnya. Tiga kali sudah aku mencoba menghubunginya, masih belum ada jawaban. Akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan pesan suara.
Aku heran. Sungguhpun istri Pak Sidik menangis histris karena Ima tak sadar-sadar, penghuni kompleks itu masih mengendap di rumahnya. Bahkan tetangga sebelah Pak Sidik menutup jendelanya, bising mungkin baginya. Ada juga yang hanya mengintip dari jeruji pagar besi.
Ah, mati sudah kompleks ini!
Aku tak tahan mendengar tangisan dan melihat darah yang mengucur.
“Tante, tidak ada jawaban. Tante, kita harus mengantarkannya ke rumah sakit segera!” desakku.
Wanita itu mencoba tenang untuk berpikir. “Patih? Kau bisa menyetir?”
Aku mengangguk cepat.
Alhamdulillah, mobil Pak Sidik kebetulan ditinggal. Cepat, aku mengantarnya ke rumah sakit terdekat. Doa-doaku dan si ibu berurai di dalam mobil.
“Maafkan  ibu, sayang! Maafkan ibu!”
“Tante, sabar!”
“Ini salahku! Ima, sadar, Nak!”
Sungguh aku terkejut mengetahui dia sudah bisa berjalan. Aku bahkan belum melihatnya merangkak. Ima jarang keluar. Terakhir kali aku melihatnya beberapa bulan yang lalu . . .

Masha Allah! Alangkah lucunya!”
Mungkin Pak Sidik terlalu banyak pikiran untuk diajak basa-basi atau berkenalan, tapi istrinya yang melahirkan beberapa bulan setelah aku pindah, sering mengajak putri kecilnya jalan-jalan sore.
“Namanya Ima, Om!”
Ima. Hampir setiap sore aku mencubit pipinya yang tembam kala bertemu di jalan saat aku pulang kuliah. Bahkan aku tahan duduk di teras, menunggu ibunya mengajaknya keluar dengan kereta bayi. Matanya yang belok itu, nayanika yang enak dipandang. Perlahan, aku diizinkan ibunya mendorong kereta. Ah, mungkin ini warna pertama pelangi baruku. Aku belum pernah berteman dengan anak kecil sebelumnya.
“Ima! Pulang, yuk!”
Suatu sore, seruan ayahnya mengakhiri jalan-jalan kami.
“Baru pulang, Pak?” sapaku.
Pak Sidik hanya tersenyum. Terlihat memaksakan diri untuk ramah. Mungkin dia lelah. Sembari mengiring Ima ke rumah, dia berbisik ke istrinya. Entah apa yang dibisikkannya, yang jelas, hari itu hari terakhir aku melihat kereta bayi di jalan kompleks.
Pelangiku yang baru satu warna itu hilang. Tidak ada lagi suara ketawa Ima yang lucu. Pak Sidik tidak mengizinkan istrinya mengajak Ima jalan-jalan keluar. Apakah Pak Sidik memandangku jahat? Apa Pak Sidik tidak menyukai penampilanku yang sedikit berjanggut? Atau mungkin . . .
Astaghfirullahaladzim.
Kubuang jauh-jauh prasangka itu. Sungguh, setan telah memanfaatkan kebingunganku. Aku mencoba tenang, berpikir positif.
“Ah, itu wajar. Lagipula kami memang belum saling mengenal. Seperti pesan kebanyakan orangtua yang teramat sayang pada buah hatinya, ‘jangan main dengan orang asing, ya.’,” kataku pada diri sendiri.
Lagipula lagi, siapa aku melainkan tetangga yang kesepian di ‘kota mati’?

Akhirnya kami sampai.
Dua orang perawat menyambut sigap. Ima langsung dilarikan ke ruang gawat darurat. Tak lama berselang, pesan suaraku diterima Pak Sidik. Beliau menyusul sejam kemudian.
“Ada apa? Apa yang terjadi?” tanyanya begitu sampai.
Aku berdiri, hendak menjelaskan. Tapi Pak Sidik mendorong tubuhku ke dinding. Istrinya yang sedang terisak itu mencoba memisahkan.
“Bukan, Yah! Bukan dia. Dia bahkan menolong kita.”
Pak Sidik melepas cengkramannya dari kera bajuku, lantas membuang muka seolah semuanya adalah salahku. Seolah mengendarai mobilnya untuk membantu itu tidak diperlukan. Seolah menjadi tetangga yang peduli itu sama sekali tidak berarti. Sumpah, aku hampir putus asa memahami pola pikirnya.
Apa aku harus mengganggu? Mungkin aku sebaiknya pulang saja.
Pria berjas putih berkalungkan stetoskop keluar dari ruangan Ima.
“Ada orangtuanya?”
“Saya, . . . kami orangtuanya,” jawab Pak Sidik.
“Anak Bapak kehilangan banyak darah.”
Istri Pak Sidik menutup mulut, terkejut. Aku yang baru akan berbelok, bergeming. Semoga Ima baik-baik saja, batinku.
Aku ingin pulang saja. Setidaknya aku sudah sedikit membantu. Lagipula, tidak ada lagi yang bisa aku lakukan, kecuali terlihat seperti ikut campur urusan orang.
“Transfusi darah harus segera dilakukan,” lanjut dokter itu.
Entah mengapa aku masih bergeming, menelinga di sana. Sesuatu menahan kakiku. Aku ingin memastikan bahwa warna pertama pelangi baruku baik-baik saja.
            “Ambil darah kami, dokter! Cepat!”
            “Selamatkan anak kami dokter!” istrinya menambahkan.
            “Baiklah, semoga . . ,” Dokter itu terdengar ragu. “Apa golongan darah kalian?”
            “AB.”
            “AB.”
            Pasangan suami istri itu terdiam. Terbawa situasi panik, mereka baru ingat kalau Ima memiliki golongan darah berbeda. Putri kecil mereka tidak bisa menerima darah mereka. Itu malah akan membahayakan keadaannya.
            “O!” aku berbalik arah. “O, golongan darahku O.”
            Ya, Allah! Betapa Maha Kuasa Engkau. Kehendakmulah kaki ini diam tak bergerak. Kehendakmulah telinga ini mencuri dengar. Kehendakmulah hati ini cenderung peduli. Semuanya pasti punya jawaban.
            Pak Sidik akhirnya mengangguk setelah dimohonkan istrinya. Matanya menatapku penuh penyesalan dan ketidakenakan.
            “Ayo, kita harus melakukannya sekarang!”
            Bergegas aku dibawa ke ruangan tempat Ima dirawat. Semoga sedikit darah ini bisa menyelamatkannya, itu saja harapanku. Itu saja.
            “Terima kasih, Nak Patih!”
            Namun, Allah memberi lebih. Ucapan itu terdengar tidak mungkin keluar dari mulut Pak Sidik yang berwajah sangar. Tapi, setelah dokter bilang Ima baik-baik saja, memang begitu adanya. Beliau merangkulku.
“Satu dua lima delapan HB, Pak Sidik!” kataku.
“Apa itu?”
“Nomor kendaraan pelakunya.”
Dia merangkulku lagi. Benarlah kata-kata dalam buku yang kubaca.
             Jangan membenci sesuatu yang tidak kita kenal karena bisa jadi setelah mengenalnya, kita justru mencintainya.”

( . . . )
           
“Karena Patih adalah orang yang baik.”
“Karena Patih adalah orang yang baik.”
“Karena Patih adalah orang yang baik.”
            Polisi itu membuang napas lelah. Sepuluh menit Sidik hanya mengulang-ulang kalimat yang sama. Tubuhnya maju mundur, matanya berair. Semakin lama semakin keras diucapkannya kalimat itu. Ada sedikit gangguan mental tampaknya.

            Sidik ditahan di penjara, menunggu pemeriksaan esoknya. Di balik sel itu, dapat terdengar olehnya orang-orang berbincang tentang dia, juga tentang pelaku bom bunuh diri.
            “Itu bukan Patih!”
            Rasanya dia ingin bunuh diri. Di tekannya kepala yang sudah memberinya pemikiran gila. “Kenapa aku tidak mati saja sebelum ini?” Dia terus menghukumi dirinya, meninju-ninju dinding sel sampai kepalnya berdarah.
            “Arrrggh!”
            Teriakannya itu terhenti, dikalahkan oleh sayup-sayup suara yang terdengar. Seperti baru pertama kali mendengarnya, Sidik terhanyut sampai berurai air mata. Kenangan dengan tetangga itu terngiang di kepalanya.           

( . . . )

            “Mari, Pak Sidik, salat!”
            “Ya, silahkan! Saya bisa salat di rumah.”
            Aku tersenyum. Itu alasan ketiga yang kudengar. Dua hari sebelumnya dia bilang kelelahan, kemarin dia bilang belum mandi. Tapi tak apa, setidaknya kami sudah saling menyapa. Rautnya juga tak masam lagi.
            Bahkan seminggu sebelumnya kami berbincang pasal tetangga baru.
            “Ada apa di depan lorong, Pak Sidik? Kok, seperti ada yang baru pindahan,” tanyaku menghampirinya yang sedang mencuci mobil.
            “Oh, itu. Tahu rumah abu-abu yang pagarnya agak karatan?”
            “Ya.”
            “Setelah sekian tahun rumah itu akhirnya terjual,” katanya sedikit tertawa.
            “Oh, kita punya tetangga baru rupanya.” Aku geli sendiri mengucapkannya. Apakah satu tetangga baru itu bisa menghidupkan kompleks yang mati? Hm, mungkin saja. “Siapa yang membelinya?”
            “Aku tidak yakin kau senang mendengar ini.”
            “Memangnya siapa?”
            “Orang Kristiani, seorang polisi.”
            Aku menganga tak percaya. Apakah Allah mengirimkanku warna pelangi lainnya?
            “Kenapa kau senyum-senyum begitu?” tanya Pak Sidik heran. Dia mengajakku duduk di terasnya. Sambil menikmati wedang jahe buatan istrinya, aku bercerita.
            “Aku dulu tinggal di Desa Pelangi, . . . “

( . . . )

“Dosa-dosaku amat banyak. Namun apabila aku bandingkan dengan Rabb, ampunan-Mu jauh lebih besar.”
-Imam Syafi’i-
            Mematung Sidik selama suara itu mengetuk pintunya hatinya yang mengeras. Lafadz demi lafadz mendidihkan darahnya, seolah darah itu sudah lama membeku. Semakin melunak semakin matanya berair.
            “La ilaha illallah,” bisiknya, berat sekali.
            Siapa sangka dia masih ingat cara bertayamum. Debu di dinding sel itu menyucikan tubuhnya yang selama ini lalai. Setiap usapan debu itu dirasa dengan sepenuh hati.
            Menangis dia ketika berdiri, tersedu-sedu, karena bibir itu sudah lama tak membaca doa iftitah maupun al-Fatihah.
Menangis dia ketika rukuk, lama, baru dia sadar nikmatnya membungkukkan tubuh untuk Pencipta.
Menangis dia ketika sujud, mengingat betapa sombongnya dia atas harta yang sama sekali tak membuat keluarganya bahagia.
Menangis dia ketika duduk, dadanya kembang kempis, bibirnya gemetar. Tak lagi dia hapal bacaannya.
“Allah.”
“Allah.”
“Allah.”
“Ampuuuuni hamba, Ya Allah!”
Dua puluh empat jam sebelumnya, ketika hati Sidik masih membatu, darahnya membeku, otaknya buntu, dia mengambil keputusan yang salah.
( . . .)

“Patih, tolong! Tolong selamatkan aku! Mereka terus mengawasiku, mereka akan menangkapku! Tolong, Patih, tolong!”
            Pak Sidik?
Sudah lama aku tidak melihatnya. Setelah mengetuk pintuku dengan keras, teriakannya mengejutkan kelopak mataku yang masih berat sehabis subuh. Berapa kali diulangnya kata tolong dengan napas menderu sambil menarik-narik tanganku. Matanya was-was ke segala sudut kantorku yang lengang. Siapa yang mengawasinya pagi-pagi buta begini? Hanya ada kami berdua. Siapa mereka? Siapa yang akan menangkapnya? Kenapa dia harus ditangkap? Apa yang sudah dia lakukan?
            “Tenangkan dulu dirimu, bicara pelan-pelan-“
            “Tidak bisa!” bentaknya. Hening sejenak, kemudian,“Bom . . . bom itu,” bisik dia.
            “Bom apa?” Aku makin terjaga.
            “Bom itu akan meledak sebentar lagi, Patih!”
            “Bom apa, Pak Sidik!” Aku meneriakinya, memaksanya untuk bicara jelas-jelas. Tapi dia justru terduduk lemah, enggan berkata-kata. Siatuasi macam apa ini! Aku duduk di depannya, bingung menunggu jawaban.
            Kepala yang bersandar itu terlihat pucat. “Ima,” bisiknya pelan sekali.
            Ima?

Setahun sebelumnya
           
“Tuan! Ini Ima dan ibunya ingin bersilaturahmi.”
            Itu sudah kali ketiga ibu Ima, istri Sidik, mengetuk rumah duka tempat teman Ima yang meninggal dunia. Gadis kecil yang baru naik kelas dua SD itu merengek, rindu dengan Alexa anak tetangga baru.
Kedatangan tetangga di lorong depan itu memang memberi sedikit perubahan. Warna pelangi baruku bertambah satu ketika melihat Ima. Betapa tidak, Alexa yang hanya tinggal berdua dengan ayahnya itu merasa kesepian. Pertemuan pertama mereka adalah ketika duduk di bangku TK.
Mereka biasa pulang-pergi bersama, mengerjakan PR bersama, bahkan sampai menginap di rumah Alexa. Tapi orangtua mereka jarang sekali bertemu. Pak Sidik apalagi. Dia bukan tipe orang yang terbuka untuk orang-orang baru.
Melihat Alexa senang punya teman baru, ayahnya turut bahagia. Keyakinan yang berbeda bukan masalah. Yang terpenting baginya adalah jangan sampai Alexa merasa kesepian selama dia tidak di rumah. Putrinya itu adalah satu-satunya keluarga yang dia punya.
Sejak kedatangannya, kompleks itu sedikit ramai. Karena keseruan mereka, anak-anak yang selama ini terkurung maupun mengurung diri, terpanggil keluar. Aku sendiri terkejut, setelah hampir empat tahun aku di sana, aku sama sekali tidak mengenal anak-anak itu maupun orangtua mereka.
Setelah lulus, aku masih di sana, aktif dalam organisasi-organisasi yang kuikuti selama kuliah. Bukan tanpa alasan, negeri ini semakin kacau saja di tahun itu. Kasus rasis dan radikalis masih bergentayangan di setiap kota. Target serangannya sulit ditebak, tidak memandang siapa dan mengapa. Ratusan korban meninggal dunia.
Alexa salah satunya.
Di hari pertama Alexa absen, dengan polos Ima bertanya pada gurunya, “Ibu Guru, Alexa, kok, tidak datang? Dia ke mana, Bu? Dia tidak mati, kan, Bu?”
Sedangkan guru itu tak sanggup mengatakan yang sebenarnya. Meski sudah mendengar kata teman-temannya yang lain, Ima tidak percaya. Dia menggantungkan harapan pada gurunya yang baginya tidak mungkin berbohong.
“Kemarin dia pergi,” jawab sang guru.
“Pergi? Pergi ke mana, Bu? Alexa tidak pernah bilang, malah dia berjanji akan main sore ini ke rumah Ima.”
Guru itu menekuk lututnya mengelus rambut Ima. Di kepalanya ia menyusun kata-kata. Kasihan sekali Ima, dia tak ingin membuat anak itu sedih.  “Dia pergi ke tempat yang saaaangat jauh. Ibu saja tidak tahu apa nama tempatnya.”
Tidak sepenuhnya berbohong, ia berhasil merubah kematian terdengar seperti perjalanan yang menyenangkan.
“Kapan dia sekolah lagi?”
Pertanyaan dengan tatapan bulat penuh harapan itu dijawab dengan gelengan. Hanya gelengan. Guru itu tidak bisa mengarang jawaban tentang waktu. Alexa tidak mungkin kembali.
Wajah Ima berubah cemberut. Kenapa Alexa tidak cerita? Kenapa Alexa tidak mengajaknya? Seharusnya hari ini mereka akan membuat kue di rumah Ima bersama ibunya atau bermain PS di rumah Alexa. Tapi cemberutnya itu tidak lama, baginya yang penting Alexa masih hidup dan teman-teman yang lain hanya mengarang cerita. Mungkin Alexa akan pulang satu atau dua hari lagi, pikirnya.
Tiga hari berlalu, menjauh dari prediksi gadis itu. Hampir setiap hari dia ke rumah Alexa, tapi dia takut. Ada mobil polisi di sana. Ayah Alexa meminta mereka menjaga rumahnya, pikir Ima.
Perlahan dia mengarang alasan sendiri. Mungkin perjalanan yang jauh itu membuatnya kelelahan dan kelelahan membuatnya sakit. Untuk sahabat terbaiknya, dengan kertas warna-warni ia tuliskan harapannya, dari ‘semoga lekas sehat’, ‘kami merindukanmu’, kapan kita main lagi?’, sampai catatan PR-PR dari gurunya.
“Ima, belum selesai PR-nya? Kok, lama banget?” tanya ibunya suatu pagi.
“PR Ima sudah selesai, kok, Bu. Ini PR-nya Alexa. Dia sedang sakit, kasihan dia,” jawab Ima yang lugu.
Betapa teriris hati istri Sidik mendengar itu. Ia tak ingin anaknya berlama-lama dengan harapan palsu. Ima harus mendengar kenyataannya. Kenyataan kalau dia harus mencari teman baru untuk menggantikan Alexa.
“Sayang, Ima tidak perlu mengerjakan PR Alexa, dia tidak akan sekolah lagi.”
“Kenapa? Alexa pindah, ya?”
Ibunya mengangguk, “Iya.”
“Ke mana?” tanyanya singkat.
“Ke suatu sekolah yang lebih baik.”
“Sekolah apa itu, Ibu?”
“Sekolah Surga, Sayang! Alexa sudah bahagia bersama Tuhan di surga.”
Tidak mungkin.
Mendengar kabar itu, Ima tak percaya. Hatinya yang lugu menolak, Alexa terlalu kecil untuk merasakan kematian. Ia butuh diyakinkan dengan bukti.
“Ibu tidak berbohong, kan?” katanya lirih. Dalam hati dia berharap ibunya itu mengangguk.
“Tidak, Nak. Mari, kita ke rumah Alexa!”
“Tidak mau, Alexa tidak ada di rumah, dia belum pulang.”
“Kita akan tanya ayahnya langsung agar kau percaya, sembari mendoakan supaya Alexa tenang di surga.”
Alexa terpaksa ikut. Tapi masih, dia berharap ada keajaiban terjadi. Barangkali ibunya salah informasi. Gadis kecil itu tersenyum, mobil polisi yang kemarin sedang tidak terparkir di sana, mengamini harapan Ima. Yang sayangnya hanya harapan yang kandas.
Maka hari itu, ibunya ingin mengajarkan padanya bahwa kematian tak mengenal usia.

            Pintu dibuka.
            “Tuan?”
            Mereka datang di waktu yang salah. Ayah Alexa sedang tidak ramah untuk menerima tamu. Ima mengenggam erat tangan ibunya. Sang ibu melindungi putri kecilnya dari mata pistol yang teracung tegang. Mata lelaki itu seperti singa yang kelaparan. Tinggallah mulut ibu Ima terkatup seperti induk domba yang ketakutan. Semakin ia melangkah mundur semakin singa itu menarik pelatuknya.
            “Lari, Ima!” teriak ibunya pasrah. Biarlah ia yang ditembak, pikirnya. Apapun akan dilakukan untuk melndungi putrinya. Cukup sekali nyawa Ima terancam karena kelalaiannya. Tapi gadis kecil itu tak benar-benar lugu untuk langsung menuruti perintah sang ibu. Sepersekian detik berikutnya, pelatuk itu dilepaskan.
            “Imaaa!”
            Dan sepersekian detik sebelumnya, Ima yang   itu mendorong tameng, ibunya. Terlalu terkejut untuk berlari menghindar. Peluru yang mengarah perut sang ibu itu pas mengenai keningnya, memerahkan poninya seketika. Ibunya merangkak cepat menangkap tubuh kecil yang ambruk tak berdaya.
Teriakan ibu yang malang itu membangunkan kompleks yang sepi sekaligus menyadarkan singa itu dari mabuknya. Pistol itu jatuh dari tangannya yang gugup. Seperti lari dari mimpi buruk, dikuncinya rumah dan ia kurung dirinya di kamar. Tak ada jalan baginya untuk keluar. Warga sudah memenuhi halaman dan meneriaki namanya.
Polisi mendobrak pintu-pintu dan menemukan singa itu sekarat dengan luka lebam di kepalanya akibat benturan. Mulutnya berbusa. Ia meneguk pembersih lantai sebelum jatuh sempoyongan.
Maka hari itu, ibunya telah mengajarkan Ima bahwa kematian tak mengenal usia.
Maka hari itu, Ima pun mengerti bahwa kematian memang tak mengenal usia.
“Ima . . . “
Terus Sidik membisikkan nama itu. Entah apa dipikirannya saat ini. Apa hubungan kecemasannya yang entah sadar atau tidak tadi dengan kesedihan kehilangan putrinya setahun yang lalu?
“Aku benar, kan?” Sidik akhirnya bicara. “Patih, aku tidak salah, kan?”
Tambah gila dia. Aku mengangkat bahu, tak mengerti.
“Untuk Ima, putri kecilku yang cantik, aku sangat menyayanginya dan aku melakukan ini untuknya-“
“Melakukan apa?”
Sidik menatapku tajam lantas berseru, “Aku marah pada Alexa dan ayahnya yang gila. Aku juga marah karena aku gagal menjadi ayah. Apa salah Ima? Apa salahku? Pertanyaan ini mencekik tenggorokanku setiap hari dan aku hampir mati! Tapi mereka menemukanku, mereka menawarkan kematian padaku sebagai solusi terbaik saat ini. Lagi pula, untuk apa aku hidup, ha! Untuk apa?”
Aku bergeming, mencoba tenang agar bisa mentransliterasi teriakannya yang begitu tersirat. Mereka? Siapa mereka yang menawarkan kematian padanya? Kematian macam apa pula itu sampai Sidik menerimanya?
Dari bom dan kematian yang keluar dari mulutnya, sepertinya aku tahu siapa mereka. Setahun terakhir mereka laris jadi bahan perbincangan di segala tempat dan media. Entah apa yang salah di otak yang mereka lakukan menewaskan puluhan warga di tempat- tempat umum, juga menewaskan Sidik mengusap wajahnya. Aku bisa melihat kegelisahan ditambah penyesalan di matanya yang berat. Kegelisahan untuk meninggalkan pilihan yang membawanya pada penyesalan.
“Tidak,” jawabku mengembalikan tatapan tajam Sidik. “Ini tidak benar, Kawan! Kau tidak bisa melakukan ini. Aku tahu kau sangat menyayangi Ima, tapi-“
“Tahu apa?! Kau tidak tahu apa-apa, kau belum punya anak! Apa kau tahu betapa aku tiba-tiba mati berdiri begitu menerima panggilanmu? Aku kehilangan putriku yang lucu. Apa kau tahu bagaimana keadaan istriku setelah kejadian itu? Dia tidak mau lagi bicara padaku. Dia terus menghukum dirinya. Dia gila! Aku pun ikut gila! Kami kehilangan Ima, seorang anak yang di dalam tubuhnya mengalir darahmu. Aku berharap dia bisa hidup lagi dengan darahmu tapi, . . .  Tuhan! Kejam sekali dia membiarkan Ima mati!”
Sumpah, aku bingung setengah mati dengan situasi ini. Seorang Sidik yang aku tidak pernah bicara padanya selama bertetangga beberapa bulan, lalu setelah insiden anaknya, dia menghilang, sekarang tiba-tiba dia datang ke kosanku. Selama SMA, sekali aku mengajaknya salat bersama ke masjid, tapi motornya yang rusak jadi alasan. Padahal aku sendiri setiap hari berjalan kaki ke sana.
Aku mengangkat tanganku, mencoba menenangkannya. “Ya, aku memang belum tahu rasanya punya anak, aku tidak tahu. Tapi ayahnya Alexa tahu. Ia juga merasakan yang sama. Dia kehilangan putri satu-satunya-“
“Tapi aku tidak membunuh anaknya lalu kenapa dia membunuh Ima?” teriaknya lebih keras. Tapi sekeras apapun teriakannya, tatap tidak akan membangunkan kompleks yang mati.
“Waktu itu kau memang tidak, tapi sekarang kau justru bergabung dengan pembunuhnya.” Kali ini aku yang menatapnya tajam.

Seminggu sebelum Ima
Hari Minggu adalah hari khusus untuk Alexa dan ayahnya. Sepulang dari beribadah, Alexa diajak jalan-jalan berkeliling kota, berpoto sana-sini, mengumbar kemesraan.
Ibu Alexa meninggal saat melahirkan. Tinggallah polisi itu sebagai ayah sekaligus ibu bagi Alexa. Namun, tiada yang tahu, tempat yang mereka pilih untuk beristirahat sekaligus mengakhiri kesenangan mereka berjalan-jalan sorenya, adalah target peneroran.
“Alexa!”
            Teriakan sang ayah mengalahkan kerusuhan akibat bom beberapa menit sebelumnya. Beberapa pria berseragam oranye menahannya yang hendak kembali masuk ke kedai kopi ternama, yang tengah jadi lalapan si jago merah. Dia meronta, bilang hendak menyelamatkan putranya. Putri tunggalnya yang baru naik kelas dua sekolah dasar. Alexa, teman Ima.
            Seminggu selanjutnya, gadis kecil yang lugu itu masih tidak percaya dan tidak terima bahwa dia sudah kehilangan teman bermain. Kemudian ibunya mengajak dia mengunjungi rumah ayah Alexa yang tengah lara. Tiada yang tahu apa yang dilakukan orangtua tunggal itu di dalam rumah sendirian. Tak ada yang dia makan selama seminggu itu selain minum bir dan merokok. Setiap hari ia menelepon atau kadang dikunjungi polisi. Dia hanya bilang kalau dia ingin menghukum sendiri pelaku pengeboman itu. Seminggu ini yang ia tahu, pelaku itu bernama Husin. Baru hari ini polisi mengabarkannya jika pelaku sudah dibekuk dan ditembak mati di tempat persembunyiannya. Dibantingnya telepon genggam ke dinding. Ia tak terima.
            Mendengar ketukan di pintunya, sosok ayah ini bak singa yang marah di tengah rasa lapar. Di ketukan ketiga, dia mengenali dua mangsa yang mengunjunginya.
“Tuan! Ini Ima dan ibunya ingin bersilaturahmi.”

“Bukankah kau tahu itu, Pak Sidik? Dia dalam keadaan depresi, tidak sadar, ketika melepaskan pelatuk itu. Dia depresi atas kematian putranya. Kematian Ima di tangannya adalah takdir. Dia hanya perantara untuk urusan maha rahasia itu. Begitu juga dengan kematian Alexa oleh bom Husin.”
Sidik menelan ludah. “Terserah! Aku memang tidak mengikuti perkembangan kasusnya. Yang aku tahu hanya Ima sudah mati dan aku ingin menuntut haknya.”
“Hak apa lagi, Pak Sidik?” Aku hampir putus asa.
“Hak untuk hidup. Seharusnya dia masih bisa hidup sekarang. Seharusnya Ima masih hidup, seharusnya Ima di sini, di samping ayah. Seharusnya istriku tidak gundah, seharusnya kami masih bahagia . . . “
Aku memeras kepalaku mendengar igauannya yang mulai tak karuan. “Hentikan, Pak, istighfar! Kau tidak boleh melakukan itu apalagi mengatasnamakan agama!”
Sidik bergeming.
“Kau tahu Islam tidak mengajarkan permusuhan, kan?”
“Siapa yang mengatasnamakan agama?”
Apa katanya? Siapa?

“Tidak ada bukti yang menyatakan bom bunuh diri, pelakunya masih berkeliaran di luar sana. Untuk saat ini yang kami ketahui tentang pelaku hanya identitasnya saja,” ujar polisi pada ayah Alexa sehari setelah kejadian. Ia memberikan beberapa poto dan kartu tanda pengenal. Pelakunya bernama Husin, 65 tahun, berasal dari pulau seberang.
“Tolong temukan dia segera, aku ingin membela hak hidup anakku!”
“Tenang, Pak, semua akan diproses sesuai dengan hukum.”
“Aku tidak peduli. Aku sendiri yang akan menghukumnya, meskipun itu akan membuatku dikeluarkan dengan tidak terhormat.”
Setelah kepergian polisi, dengan segenap kegelisahan yang mengendap di otaknya dan kesepian sebagai orangtua tunggal, sebotol miras di kulkas jadi tujuan. Diminumnya penghilang kesadaran itu. Dalam pandangan marah menyesakkan, diremuknya berkas yang diberikan polisi. Halusinasinya membawa Alexa kembali dan menemaniya duduk di ruang tengah itu sambil menonton televisiMenangis dia mengenang keadaan jasad anaknya sebelum dimasukkan ke peti, hangus dan nyaris tidak dikenali. Dia ingin dirinya membakar Husin.
Dua hari berikutnya, polisi datang dengan kabar terbaru, markas Husin sudah terdeteksi. Ayah Alexa menggeram tak sabar untuk langsung meninju wajah teroris itu.
Dari penyidikannya atas pertanyaan ‘kenapa harus kedai kopi ternama itu’ menghasilkan isu yang diyakini kebenarannya. Belakangan baru disadari bahwa pengunjung kedai itu kebanyakan adalah non-muslim, katanya. Itu berarti ada kemungkinan serangan teror itu dilandaskan ajaran agama.
Salahnya, frasa ‘ada kemungkinan’ itu kurang ditekankan sampai berubah jadi suatu kepastian di telinga ayah Alexa, apalagi di situasi buruk seperti itu.
“Apa salah agama dalam kasus ini? Kenapa dengan agama kami?”
Pikiran dan hatinya berkecamuk. Dalam pikirannya ia kecewa dan buruk prasangka dengan agama, tetapi di hatinya ia percaya bahwa agama terlalu suci untuk disalahkan. Jelas-jelas dia yakin, hatinyalah yang benar. Tapi minuman itu meracuni pikirannya dan pikiran yang teracuni itu menghambatnya untuk mengikuti kata hatinya. Di hari-hari yang tersisa, sebelum kunjungan dari Ima, ia terus berusaha menjernihkan pikirannya. Namun, telepon yang berdering itu mengubah hatinya.
“Halo, Pak Polisi? Ada kabar apa?”
“Pagi, Pak! Saya menghubungi Anda untuk mengabarkan bahwa pelaku berhasil ditangkap dalam-“
“Bagus kalau begitu, aku sudah lama menunggunya, aku akan ke sana,” katanya, hendak menutup percakapan itu.
“Tunggu, Pak!”
Suara polisi di belakang telepon itu menahannya.
“Ada apa lagi?”
“Saya menghubungi Anda untuk mengabarkan bahwa pelakunya berhasil kami tangkap dalam keadaan mati.”
Sial.
Jantungnya serasa berhenti. Dia tidak boleh mati kecuali di tangannya, pikirnya. Sementara polisi itu masih berkicau menjelaskan kronologinya.
“Kami kesulitan membekuknya, dia terlalu lincah. Kami mengejarnya sampai ke lalu lintas kemudian masuk ke hutan. Kami tidak mau menangkapnya hidup-hidup dengan resiko kehilangan jejaknya lagi, jadi-“
Tok tok tok
“. . . . kami harus membekuknya. Dia bahkan masih menghindar setelah  peluru menembus betisnya. Akhirnya kami menemukan titik yang bagus-“
Tok tok tok
“ . . . . untuk melepaskan pelatuk dan membunuhnya . . . “
Apa? Mati karena satu tembakan? Beruntung sekali dia! Aku tidak mau kematiannya begitu mudah. Pikirannya berkecamuk lagi, mengalahkan suara hatinya yang seminggu itu berusaha menenangkan.
“Tuan! Ini Ima dan ibunya ingin bersilaturahmi.”
Matanya mengarah ke pintu. Ima? Teman Alexa. Selama ini dia tak pernah melarang anaknya berteman dengan keluarga muslim. Tapi, kemungkinan itu meracuni akal sehatnya ditambah ketidaksadaran dan kemarahannya yang tak tertahan.
Ditutupnya telepon rumah itu, lalu membuka laci mejanya, mengambil sesuatu. Dia menggeram seperti singa yang kelaparan.
Dibukanya pintu itu.
“Tuan?”
Mereka datang di waktu yang salah. Ayah Alexa sedang tidak ramah untuk menerima tamu. Ima mengenggam erat tangan ibunya. Sang ibu melindungi putri kecilnya dari mata pistol yang teracung tegang. Mata lelaki itu seperti singa yang kelaparan. Tinggallah mulut ibu Ima terkatup seperti induk domba yang ketakutan. Semakin ia melangkah mundur semakin singa itu menarik pelatuknya.
 “Lari, Ima!” teriak ibunya pasrah. Biarlah ia yang ditembak, pikirnya. Apapun akan dilakukan untuk melndungi putrinya. Cukup sekali nyawa Ima terancam karena kelalaiannya. Tapi gadis kecil itu tak benar-benar lugu untuk langsung menuruti perintah sang ibu. Sepersekian detik berikutnya, pelatuk itu dilepaskan.
            “Imaaa!”

“Agama yang suci itu dijadikan sampul oleh mereka. Tapi yang aku lihat selama aku bergabung dengan mereka, tidak ada Tuhan di hati mereka.”
“Astaga, kau tahu? Lalu mengapa kau malah bergabung?”
“Aku tidak tahu harus lari ke mana lagi. Aku tidak terima! Hanya karena polisi itu ditemukan mati maka kasusnya dianggap selesai. Tidak bisa! Aku tidak butuh uang denda kasihan dari keluarganya. Tidak butuh! Yang aku ingin hanyalah mendengar Ima-ku tertawa. Aku ingin dia hidup lagi. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan-“
“Serahkan semuanya pada Allah, Pak-“
“Apakah Tuhan akan mengembalikan dia?”
Astaghfirullah . . .
“Apakah Tuhan akan mengembalikan Ima? Tidak! Katakan padaku, Patih, kau banyak belajar tentang agama, bukan? Apakah ini hukuman? Apakah Allah membenciku?”
Aku menggeleng. “Allah ingin kau kembali, Pak Sidik.”

( . . . )

            “Bagaimana keadaanmu hari ini? Baikan?”
            Malam yang panjang untuk bertobat. Pagi ini dia tampak lebih siap untuk memberikan keterangan.
            “Ini surat kabar hari ini.”
            Polisi itu menyerahkan koran dengan ‘Teridentifikasi, Pelaku Aksi Bom Bunuh Diri” sebagai judul besarnya.
            Setelah melakukan autopsi terhadap sisa-sisa tubuh, akhirnya identitas pelaku terungkap. Patih Akbar Triwijaya, S.Pd., 22 tahun, warga kelahiran Kota Nanas. Pelaku berhasil dikenali dari logo jasnya yang masih tersisa. Logo tersebut merupakan logo komunitas keagamaan yang saat ini dicurigai telah terdoktrin paham terorisme.
            “Tolong hentikan pemberitaan ini. Dia sama sekali tidak bersalah,” pinta Sidik tegas.
            Polisi itu terkesima mendengar pria di hadapannya tidak lagi gila. “Kabar baiknya, bukan hanya kau yang protes.”
            Suara televisi yang tidak jauh dari ruangan itu terdengar. Seorang reporter tengah melaporkan langsung dari tempat demo massa.
            “Kami dari organisasi dakwah yang sama dengan Patih. Dia orang yang baik, kok. Jadi tidak mungkin dia bergabung dengan kelompok teroris. Berita itu bohong.”
            “Kami ingin menuntut redaktur koran itu. Kami tidak terima jika organisasi ini dibubarkan hanya kerena tuduhan sembarangan. Kami bersih, murni untuk berdakwah, mengikuti al-Quran dan sunnah. Bahkan kami juga mengutuk terorisme ini. Patih tidak bersalah.”
            “Patih tidak bersalah!”
            “Patih tidak bersalah!”
            Sementara itu, pelangi Patih, Marthin, Arin, Nyoman, dan Arjun mengunggah video dan status di akun media sosial mereka.
            “Kami tidak percaya berita itu. Patih teman baik kami sejak kecil. Kami berlima memeluk agama yang berbeda. Patih tidak pernah mempermasalahkan itu. Kami bahkan sudah seperti saudara.”
            “Doa kami semua untukmu, Patih. Kami percaya jiwamu suci. Semoga Tuhan kita selalu memberkatimu.”
            “Palsu! Bukan Patih pelakunya. Toleransi sudah seperti prinsip dalam hidupnya. Tolong jangan kotori namanya! Biarkan dia tenang di sana.”
            “Jangan percaya berita itu! Polisi bisa saja salah. Tapi yang jelas aku yakin, Patih, sang pecinta perbedaan, tidak mungkin sebodoh itu. Pasti ada kekeliruan, mohon diperiksa ulang. Aku tidak rela nama sahabatku dicemari. Biarkan dia tenang di alam sana.”

            “Tapi sayangnya, itu semua tidak akan berguna di mata hukum selagi tidak ada bukti. Kau harus menceritakan kronologinya padaku, siapa tahu ada petunjuk yang bisa kita cari,” usul sang polisi.
            Tidak seperti kemarin, hari ini Sidik lebih tenang untuk menceritakannya.
            “Aku kabur dari rumah, meninggalkan istriku yang gila. Sebelumnya, aku sudah mogok bekerja. Patih sering berkunjung ke rumah, menasihatiku, tapi aku sama sekali tidak mendengarnya. Sampai suatu hari, seorang asing datang ke rumahku untuk menawarkan bantuan. Dia meyakinkanku bahwa dendam harus dibalaskan. Dan bodohnya aku karena terlalu mengikuti nafsu amarah.
            “Selama beberapa bulan melihat mereka melancarkan serangan., menghitung satu per satu mati, ada yang ditangkap, ada yang melakukan bom bunuh diri, aku perlahan mengerti nasihat Patih. Tapi terlambat, mereka sudah menentukan tanggal mainku. Cukup sudah menjadi penonton, saatnya aku membalaskan dendam. Aku tidak bisa mundur lagi, mereka mengancam akan membunuh istri juga sanak familiku. Sepanjang malam itu aku meluruskan pikiran, mencoba mencari solusinya . . . “

( . . . )

            “Dengar, Sidik, ini tujuanmu, kau ingat? Kau kehilangan putrimu, kan? Saatnya bagimu untuk membalaskan demdam. Biar mereka merasakan kesedihan yang sama. Hanya setelah itu kau bisa mati dengan tenang.”
            “Tidak!” Sidik menggeleng. “Aku belum mau mati.”
            “Itu artinya kau memilih mati di tangan polisi. Terserah, itu pilihanmu. Kalau begitu pasang bom yang ini.”
            Sidik yang sangar itu ketakutan. Jika dia tidak melakukannya, apa yang akan terjadi pada keluarganya?
            Terpaksa.
            “Di mana?”
            “Dua gedung yang berhadapan di persimpangan itu. Kami menunggu di atas gedung yang lain, jaga-jaga kalau kau berubah pikiran dan ingin melihat keluargamu mati mengenaskan. Aku harap tidak, jadi nanti jika kau berhasil, kita akan menikmati pemandangannya dari atas sana.”
            Dengan pikiran kosong, azan subuh itu mengiringi langkah-langkahnya. Dia dengan mudah menyelinap. Aktifitas kota belum terlihat. Dengan napas menderu, dipasangnya bom itu tepat di ‘jantung’ kedua gedung. Selagi dia dimonitori, tak ada pilihan lain. Yang penting keluarganya selamat dulu.
            Di saat yang sama, seperti biasa, Patih melangkahkan kakinya ke masjid.
Setengah jam dia berkutat dengan seperangkat kabel. Ketika bom itu berhasil dipasang, ditutupinya dengan sedemikian rupa agar tidak ada yang curiga. Itu bom waktu. Saat mereka mengetahui bom sudah dia pasang, tombol pengaktifannya ditekan.
Ledakannya satu jam lagi.
            Sidik tidak kuat lagi dengan ulahnya sendiri. Dia tidak datang ke atas gedung, tempat teroris yang lain menunggu. Dia kembali ke kompleksnya, menemui Patih.
            “Patih, tolong! Tolong selamatkan aku! Mereka terus mengawasiku, mereka akan menangkapku! Tolong, Patih, tolong!”
            “Tenangkan dulu dirimu, bicara pelan-pelan-“
            “Tidak bisa!” bentaknya. Hening sejenak, kemudian,“Bom . . . bom itu,” bisik dia.
            “Bom apa?” Aku makin terjaga.
            “Bom itu akan meledak sebentar lagi, Patih!”
            “Bom apa, Pak Sidik!”
            Sidik terduduk lemas. Apakah memberitahu apa yang sudah diperbuatnya akan menyelesaikan masalah? Apakah Patih bisa menolongnya?
            “Ima . . . “ bisiknya. Sementara Patih menatapnya penuh tanya.
            “Ima . . . “
Terus Sidik membisikkan nama itu. Entah apa dipikirannya saat ini. Apa hubungan kecemasannya yang entah sadar atau tidak tadi dengan kesedihan kehilangan putrinya setahun yang lalu?
“Aku benar, kan?” Sidik akhirnya bicara. “Patih, aku tidak salah, kan?”
Tambah gila dia. Patih mengangkat bahu, tak mengerti.
“Untuk Ima, putri kecilku yang cantik, aku sangat menyayanginya dan aku melakukan ini untuknya-“
“Melakukan apa?”
Sidik menatap Patih tajam, lantas berseru, “Aku marah pada Alexa dan ayahnya yang gila. Aku juga marah karena aku gagal menjadi ayah. Apa salah Ima? Apa salahku? Pertanyaan ini mencekik tenggorokanku setiap hari dan aku hampir mati! Tapi mereka menemukanku, mereka menawarkan kematian padaku sebagai solusi terbaik saat ini. Lagi pula, untuk apa aku hidup, ha! Untuk apa?”
Patih bergeming, mencoba tenang agar bisa mentransliterasi teriakannya yang begitu tersirat. Mereka? Siapa mereka yang menawarkan kematian padanya? Kematian macam apa pula itu sampai Sidik menerimanya?
Dari bom dan kematian yang keluar dari mulutnya, sepertinya Patih tahu siapa mereka. Setahun terakhir mereka laris jadi bahan perbincangan di segala tempat dan media. Entah apa yang salah di otak yang mereka lakukan menewaskan puluhan warga di tempat- tempat umum, juga menewaskan Sidik mengusap wajahnya. Patih bisa melihat kegelisahan ditambah penyesalan di matanya yang berat. Kegelisahan untuk meninggalkan pilihan yang membawanya pada penyesalan.
“Tidak,” jawab Patih mengembalikan tatapan tajam Sidik. “Ini tidak benar, Kawan! Kau tidak bisa melakukan ini. Aku tahu kau sangat menyayangi Ima, tapi-“
“Tahu apa?! Kau tidak tahu apa-apa, kau belum punya anak! Apa kau tahu betapa aku tiba-tiba mati berdiri begitu menerima panggilanmu? Aku kehilangan putriku yang lucu. Apa kau tahu bagaimana keadaan istriku setelah kejadian itu? Dia tidak mau lagi bicara padaku. Dia terus menghukum dirinya. Dia gila! Aku pun ikut gila! Kami kehilangan Ima, seorang anak yang di dalam tubuhnya mengalir darahmu. Aku berharap dia bisa hidup lagi dengan darahmu tapi, . . .  Tuhan! Kejam sekali dia membiarkan Ima mati!”
Patih mengangkat tangannya, mencoba menenangkan Sidik . “Ya, aku memang belum tahu rasanya punya anak, aku tidak tahu. Tapi ayahnya Alexa tahu. Ia juga merasakan yang sama. Dia kehilangan putri satu-satunya-“
“Tapi aku tidak membunuh anaknya lalu kenapa dia membunuh Ima?” teriaknya lebih keras. Tapi sekeras apapun teriakannya, tatap tidak akan membangunkan kompleks yang mati.
“Waktu itu kau memang tidak, tapi sekarang kau justru bergabung dengan pembunuhnya.” Kali ini Patih yang menatapnya tajam.
“Bukankah kau tahu itu, Pak Sidik? Dia dalam keadaan depresi, tidak sadar, ketika melepaskan pelatuk itu. Dia depresi atas kematian putranya. Kematian Ima di tangannya adalah takdir. Dia hanya perantara untuk urusan maha rahasia itu. Begitu juga dengan kematian Alexa oleh bom Husin.”
Sidik menelan ludah. “Terserah! Aku memang tidak mengikuti perkembangan kasusnya. Yang aku tahu hanya Ima sudah mati dan aku ingin menuntut haknya.”
“Hak apa lagi, Pak Sidik?” Patih hampir putus asa.
“Hak untuk hidup. Seharusnya dia masih bisa hidup sekarang. Seharusnya Ima masih hidup, seharusnya Ima di sini, di samping ayah. Seharusnya istriku tidak gundah, seharusnya kami masih bahagia . . . “
Patih memeras kepalanya mendengar igauan Sidik yang mulai tak karuan. “Hentikan, Pak, istighfar! Kau tidak boleh melakukan itu apalagi mengatasnamakan agama!”
Sidik bergeming.
“Kau tahu Islam tidak mengajarkan permusuhan, kan?”
“Siapa yang mengatasnamakan agama?”
Apa katanya? Siapa?
“Agama yang suci itu dijadikan sampul oleh mereka. Tapi yang aku lihat selama aku bergabung dengan mereka, tidak ada Tuhan di hati mereka.”
“Astaga, kau tahu? Lalu mengapa kau malah bergabung?”
“Aku tidak tahu harus lari ke mana lagi. Aku tidak terima! Hanya karena polisi itu ditemukan mati maka kasusnya dianggap selesai. Tidak bisa! Aku tidak butuh uang denda kasihan dari keluarganya. Tidak butuh! Yang aku ingin hanyalah mendengar Ima-ku tertawa. Aku ingin dia hidup lagi. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan-“
“Serahkan semuanya pada Allah, Pak-“
“Apakah Tuhan akan mengembalikan dia?”
Astaghfirullah . . .
“Apakah Tuhan akan mengembalikan Ima? Tidak! Katakan padaku, Patih, kau banyak belajar tentang agama, bukan? Apakah ini hukuman? Apakah Allah membenciku?”
Aku menggeleng. “Allah ingin kau kembali, Pak Sidik.”
Lagi, dia bergeming.
“Jika hidupmu tidak disibukkan dengan kebenaran, dia akan menyibukkanmu dalam kebatilan. Dosa-dosa yang kita perbuat memang terlampau banyak, tapi jika kita bandingkan dengan Rahmat Allah, ampunan-Nya jauh lebih besar.”
Segumpal daging yang hitam itu meninggalkan setitik putih, membuat dada Sidik berdesir. Suara jam dinding mengingatkan dia bahwa waktunya tinggal sedikit.
“Patih, aku minta bantuanmu.”
“Bantuan apa? Katakan saja!”
“Bom, . . .  bom itu akan meledak setengah jam lagi. Aku memasangnya di dua gedung di persimpangan lampu merah . . . ,”
Patih menelan ludah. Tidak didengarkannya penjelasan Sidik, tangannya meraih telepon genggam, hendak menghubungi polisi.
“Jangan!” Sidik langsung melempar telepon itu. “Jangan! Kumohon jangan laporkan ke polisi. Mereka mengawasi dari atas gedung. Mereka akan curiga.”
“Tapi-“
“Kumohon! Kalau kau hubungi polisi maka keluargaku akan mati, Patih!”
Pelik.
Apa yang harus mereka lakukan tanpa polisi? Bantuan apa lagi selain menelepon polisi yang bisa Patih lakukan. Detik ketika Sidik meminta bantuan, detik itu juga keselamatan ratusan nyawa tiba-tiba ada di pundaknya.
“Aku tahu!”
Seperti baru mendapatkan pencerahan, Sidik meraih pulpen dan secarik kertas dari meja Patih. Entah apa yang ditulisnya. Deruan napasnya meyakinkan Patih bahwa memang ada cara lain selain memanggil polisi.
“Ini!”
“Apa ini?”
“Cara menjinakkan bom.”
Ide gila.
Kertas itu digulungnya, langsung dimasukkan ke sakuku. Aku tak sempat berkata-kata lagi.
“Ayo, Patih! Kita tidak punya waktu lagi. Kau yang bawa motor.”
            Mereka diam saja selama di perjalanan. Patih mempercepat laju motornya, sengebut yang dia bisa. Semakin banyak waktu terbuang, nyawa mereka semakin terancam.
            “Cepat, Patih!”
            Persimpangan itu tak jauh dari kompleks mereka. Tidak sampai lima menit mereka sampai.
            “Aku ke mal, kau ke hotel! Bomnya di lantai tujuh.”
            Patih menahan napas. Dia merasa nyawanya terancam.
            “Patih, ikuti betul-betul langkah-langkahnya! Jangan sampai salah! Aku tidak mau kau mati karena ulahku.”
            “Pak!”
            Sidik yang sudah bergegas itu terhenti.
“Ada apa lagi? Waktu kita tinggal sepuluh menit.”
“Terima kasih sudah menjadi tetanggaku.”

( . . . )

Sidik menangis di hadapan polisi itu. Sungguh, siapa yang tahan hidup dengan dihantui rasa bersalah?
“Itu kalimat terakhirnya di detik terakhir aku melihatnya. Setelah itu kami bergegas ke dua gedung itu, menekan tombol darurat hampir bersamaan.”
“Kalau begitu kita dapat petunjuknya.”
Sidik menatap heran.
“Ayo Sidik, kau yang tahu tempat mereka. Orang yang mengawasimu terutama, kita harus meminta keterangannya.”
Sidik terbelalak. “Ya.”
Bukankah itu bisa menjadi caranya menebus dosa. Pencarian itu memakan waktu dua hari. Markas mereka setipe dengan markas Husin, jauh di pelosok desa.
“Pak, bisa aku meminta sesuatu?” tanya Sidik di satu kesempatan.
“Apa?”
“Tolong lindungi keluargaku. Orang-orang itu mengancam akan membunuh mereka. Tolong, Pak! Setelah itu aku akan menyerahkan diri. Hukum mati saja aku! Asalkan mereka selamat. Tidak apa-apa.”
Dengan suaranya yang berat itu, polisi berkata, “Kenapa kau meminta seolah-olah kau akan mati saja?”
Bukankah dia memang akan dihukum mati.
“Dengar, Sidik! Fokuslah pada pencarian kita. Selama jadi buruan, kurasa mereka tidak berani berbuat apa-apa. Mereka pasti sedang bersembunyi. Jika kau berhasil menuntun kami menemukan mereka, kau tidak akan dihukum mati. Hukum tidak sekejam itu. Apalagi sejak awal kau sudah mengakui kesalahanmu. Tuhan saja mau memaafkan, kenapa kita tidak?”
Mata Sidik berair mendengarnya. Allah mendengar doanya. Sungguh Maha Pengasih Dia, Maha Penyayang Dia, Maha Pengampun Dia. Mulia sekali seorang Patih, mati demi menyelamatkan nyawa orang-orang yang sama sekali tidak mengenal dan tidak dikenalnya.
Dia syahid.
Sidik tak pernah mengerti nasihat anak itu. Selama ini dia hanya mengangguk-angguk meladeni. Baginya agama hanyalah pemecah.
Patih memilih jurusan dakwah. Dia mempelajari bagaimana caranya menyampaikan pesan agama. Dia belajar betapa sesama muslim kita bersaudara dan mengingatkan satu sama lain adalah kewajiban. Hidup dan matinya hanya untuk Allah Ta’ala.
Pesan itu kini terus menggema di telinga Sidik.
“Andai saja kamu tahu bagaimana Allah menangani urusan-urusanmu, hatimu pasti akan luluh karena mencintainya.”
Sidik mencintai Allah. Ya, Sidik melihat bagaimana Allah menangani urusan-urusannya meski baru sekali berdoa.
“Doa yang dipanjatkan saat tahajjud itu ibarat anak panah yang melesat mengenai sasaran.”
Ya. Sekali Sidik melakukannya dalam hidup. Malam itu, di sel yang gelap dengan berurai air mata.
“Hidup ini hanya sesaat, maka isilah setiap momen kehidupan itu dengan ketaatan.”
Itulah yang disesalinya. Betapa dia baru sadar bahwa dunia ini hanya ujian saja. Dia menyesal karena selama ini dia hanya mengejar yang fana, sedangkan dia sama sekali tidak bahagia melainkan kosong jiwanya.
“Kita tidak bisa mengharapkan keselamatan jika kita tidak menempuh jalannya, Pak Sidik.”
Sidik menangis. Andai saat itu dia memanggil polisi saja, mengenyampingkan egonya yang hanya mementingkan diri sendiri. Sejujurnya, keluarga bukan alasan mengapa dia tidak mau memanggil polisi. Itu tidak lain karena dia tidak mau mati di penjara karena tertangkap basah.
“Jika seseorang itu bijak, perhatiannya atas dosanya sendiri akan mengaahkan perhatiannya terkadap kesalahan orang lain.”
Masih ingat Sidik bagaimana senangnya Patih mendapat tetangga Nasrani. Sedangkan dia yang ‘Islam KTP’ saja memandang remeh. Sejak dulu Sidik tidak mudah percaya dengan orang lain apalagi orang asing.
“Tingkatkan ibadah kita sebelum tanggung jawab dan kesibukan meningkat. Karena kalau kebalik, Pak, kita tidak punya waktu lagi untuk memperbanyak ibadah.”
Ketika kalimat itu keluar dari mulutnya, tepat setelah tiga hari Sidik menolak ajakannya pergi ke masjid, rasanya Sidik ingin menamparnya. Sok bijak, pikirnya. Kalau saja bukan karena darah Patih yang menyelamatkan Ima, mungkin sudah diludahinya anak itu.

Dua hari berlalu.
“Kami berhasil menangkap mereka.”
Sujud syukur Sidik mendengarnya.
Tidak hanya satu, melainkan dari belasan anggota, hanya satu yang berhasil lolos. Tapi si pengawas yang mengancam Sidik itu tidak berhasil melarikan diri. Satu tembakan di betis melumpuhkannya.
“Mati kau!” teriaknya begitu melihat Sidik.
Tak ada cara lain bagi polisi untuk memeriksanya selain cara kekerasan. Babak belur sudah dia.
“Ceritakan dengan jujur!”
            Pria itu mendengus marah. Kesetanan.
            “Itu bukan bom bunuh diri, kan?”
            “Hah, dasar polisi tidak becus! Ke mana biji matamu?! Tidak ada bom yang meledak selain bom yang dipasang ditubuhnya.”
            Polisi itu mengerti jalan ceritanya sekarang.
            “Kau sendiri yang memasangkan bom itu. Mengaku saja!”
            Teroris itu tertawa.

( . . . )

            Dari atas gedung yang berbeda, dia mengawasi. Langkah Patih tertangkap oleh matanya. Masuk lewat pintu belakang membuatnya curiga. Di tambah bunyi tombol darurat. Dia marah. Otaknya yang tidak waras itu menuntut sebuah ledakan terdengar di telinganya.
            Ketika semua pengunjung keluar, dia masuk lewat pintu utama sambil teriak-teriak seolah sedang mencari seseorang untuk diselamatkan. Dia menuju lantai tujuh.
            Masih ada sedikit pengunjung tersisa.
            Bom itu diikatkan dekat kabel listrik, tidak bisa ditarik atau akan meledak sebelum waktunya. Menyiramnya dengan air juga percuma. Sesampainya di sana, Patih membuka gulungan kertas dari Sidik.
            Dilakukannya setiap langkah dengan hati-hati, mulai dari mematikan sambungan listrik, lalu membuka penutup kabel. Tinggal melakukan langkah terakhir.
            Ya, Tuhan.
            Potong kabel berwarna kuning.
            Tidak ada kabel kuning di sana, yang ada kabel hitam putih.
            “Ada yang bisa kubantu, Kawan?”
            Seseorang menghampiri.
            “Kenapa kau tidak keluar? Ini berbahaya!”
            “Tidak jika kau potong kabel kuningnya.”
            Seseorang itu adalah teroris yang gila.
            “Kau benar.”
            “Tunggu apa lagi? Potong saja!”
            “Kau yang memotongnya! Aku tidak tahu yang mana yang kuning,” pintanya cemas.
            Bukan hanya yang kuning. Dia tidak tahu apapun yang berwarna selain hitam putih.
            Teroris itu tertawa. “Astaga, jadi kau buta warna.”
            Patih menatap pria itu heran. Dia bukan salah satu pengunjung.
            “Kasihan sekali pahlawan kita. Sayangnya, aku orang yang salah untuk mengajarkanmu tentang warna. Kau mau membantu Sidik, kan? Gunakan instingmu! Tebak yang mana yang kuning!”
            “Kau gila!”
            Dua menit lagi. Patih berkeringatan. Teleponnya sudah dibanting, tidak bisa menghubungi Sidik. Sedangkan Sidik mungkin sudah melarikan diri, takut ditangkap karena salah satu pihak mal maupun hotel pasti sudah menghubungi polisi.
            Patih berkonsentrasi. Dia sangat menyukai warna, meskipun dia tidak pernah melihatnya.
            Dia suka yang berwarna seperti pelangi, meski pelangi bak menghilang sejak dia lahir.
            “Pelangi itu adalah simbol perbedaan yang bersatu.”
            Patih ingat kata ibunya. itulah mengapa Patih menyukai perbedaan. Sejak kecil dia bermain dengan teman-teman dari ras dan agama yang berbeda.
            Arin.
            Kau tahu betapa senangnya berteman dengan keturunan Cina bagiku?
            Rasanya seperti mengenal warna merah.
            Marthin.
            Kau tahu betapa senangnya berteman dengan orang Kristiani bagiku? Rasanya seperti mengenal warna hijau pohon cemara yang tetap hidup bagaimanapun musimnya.
            Arjun.
            Kau tahu betapa senangnya aku melihat biksu? Rasanya seperti mengenal warna oranye pada swastamita.
           
            Waktunya tinggal satu menit lagi. Sementara teroris itu terus memperloknya dengan pura-pura membantu. Jelas dia tidak bisa dipercaya.
            Ada empat kabel di sana. Mengingat pelanginya, sepertinya dia mengenal tiga warna di antaranya. Mungkinkah sisanya warna kuning?
            Warna kuning?
            Bagaimana warna kuning itu?
            Selama SMA Patih suka sekali melukis. Tapi tanpa Arin mendampinginya, mana tahu dia warna apa yang harus dipolesnya.
            Ah, arunika. Kata ibu arunika itu kuning menyejukkan mata.
            Patih bersiap jiwa raga sebelum memotongnya. Teroris itu memandang tidak percaya, meyakinkan kabel yang dipilihnya benar.
            “Kau benar-benar buta warna?” tanya teroris itu ragu.
            Dipotongnya kabel itu.
            Lengang sejenak. Alhamdulillah.
            “Aku memang buta warna, tapi bukan berarti aku tidak bisa melihat.”
            Bom yang jinak di sepuluh detik terakhir itu melegakan hatinya, sebaliknya, menaikkan pitam si teroris.
            “Tidak mungkin. Kau akan menyesal karena sudah datang ke sini!”
            Di tangan pria itu, sebuah tas dengan seperangkat bom di dalamnya, bom yang tidak dipilih Sidik beberapa jam sebelumnya, ia hendak memakaikannya ke Patih.
            Pukulan keras ke kepalanya membuatnya tidak sadar beberapa detik. Beberapa detik yang sangat berharga bagi pria itu untuk merekatkan alatnya. Tas itu tidak bisa dilepaskan atau akan meledak sebelum waktunya. Patih memejamkan matanya.
            Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan.
            “Berdoalah! Panggil Tuhanmu itu!”
            Teroris itu tersenyum licik, puas melihat waktu mundur. Patih akan mati lima menit lagi, pikirnya. Tidak ada yang bisa menyelamatkannya, bahkan Tuhan sekalipun.
            Patih tidak berdoa agar dia hidup melainkan agar dia tidak mati sia-sia.

( . . . )

            “Dia buta warna. Ha ha ha . . .  Temanmu itu, Sidik, buta warna!”
            Sidik yang mengintip dari jendela bergeming. Dia bukan tetangga yang baik. Dia sama sekali belum mengenal Patih.
            Patih mengidap akromatopsia, penyakit keturunan. Dunia ini hanya monokrom baginya. Hitam putih. Patih sering diejek teman-temannya di desa, tempat dia lahir, karena tidak tahu warna sandalnya, warna balonnya, dan warna bajunya. Ibunya sedih, diajaknya Patih kecil pindah ke tempat yang indah, Desa Pelangi.
            Sidik tidak tahu menahu soal itu. Selama dia suka diajak mengobrol sembari menikmati wedang jahe, tak penah Patih menceritakan penyakitnya. Tak pernah juga Sidik tertarik untuk bertanya, mengapa setelan Patih selalu hitam putih.
            Sidik mengerti sekarang. Tepat saat bom di mal sudah dia taklukan, dia sudah berencana untuk melarikan diri. Suara sirine polisi itu membuatnya gemetaran. Tapi suara ledakan lima menit selanjutnya membuatnya sadar, teroris itu masih mengawasi. Tapi kenapa harus Patih yang menanggungnya?
            “Terima kasih, bersiaplah untuk hukuman gantung besok pagi!”
            “Lepaskan aku! Lepaskan!” Pria itu meronta-ronta dengan badan terikat di kursi.
           
            “Pemirsa, hari ini, protes demonstran beberapa hari yang lalu, terbukti benar. Pelaku akhirnya menceritakan kronologi yang sebenarnya setelah dipaksa. Patih tidak bersalah. Besok pagi, pelaku akan dikenakan hukuman gantung. Sementara itu, Sidik, yang kita kenal sebagai pria mistrius itu dijatuhi hukuman penjara beberapa bulan untuk menjalani rehabilitasi.”
Semakin hari, Sidik semakin tenang. Kegelisahannya akan betapa malang kematian yang dirasakan tetangganya, terjawab. Patih tidak mati sia-sia. Seorang korban yang berhasil menyelamatkan diri lewat pintu darurat memberikan kesaksian setelah beberapa hari mengalami koma.
“Sebelum pingsan, aku melihat seseorang dengan bom di punggungnya.”

( . . . )

            Patih memandang sekitarnya. Bibir dan lidahnya tak berhenti melatih syahadat. Sakarotul maut itu sangat menyakitkan, ia tahu itu, dia banyak membaca. Kematian adalah sesuatu yang dipersiapkannya sejak lama.
Kematian yang manis.
Akhir yang bahagia.
Husnul khotimah.
Dia tidak ingin menikmati detik-detik terakhirnya dengan duduk saja. Listrik yang mati membuat penghuni kamar lantai atas turun menggunakan tangga. Suara jeritan terdengar. Patih menghitung sendiri waktunya.
Tiga menit.
Satu menit dia berlari menaiki tangga, menuju tempat pengunjung itu terjatuh. Seorang wanita. Kepalanya terbentur setelah tergelinding. Wanita itu memandangnya aneh. Barangkali dia tahu, nyawanya hendak diselamatkan oleh orang yang nyawanya juga terancam. Tapi Patih tahu apa yang dia putuskan. Hidup wanita itu masih bisa diselamatkan. Hidup dia tidak.
MashaAllah!
Bagi Patih, menolong wanita itu adalah ibadah terakhirnya. Langsung dia berlari ke dalam ruangan lantai bawah, untuk mengakhiri hidupnya dengan lafadz yang sudah terlatih di lidahnya.
“La ilaha illallah.”
Bum

( . . . )



            “Setelah kejadian itu, kisahnya diburu oleh para penulis nasional bahkan internasional. Buku-buku mereka laris di semua pasar. Blogger-bogger juga. Puisi Patih jadi kofer buku sejarah di semua tingkat. DanPatih dikenal dengan ‘mata garuda’. Lukisannya yang dia buat tanpa mengenal warna itu sangat indah.”
            “Bagaimana Pak Wo tahu ceritanya?”
            “Pak Wo berteman dengannya?”
            Lukman tertawa. “Semua orang tahu cerita Patih, Nak.”
            “Tapi Pak Wo berteman, kan?”
            “Iya, kami satu jurusan. Pak Wo bangga sekali pernah satu kelompok dengannya dan wisuda di hari yang sama.”
            “Apakah Pak Wo juga ikut Aksi Damai itu?”
            “Iya, Patih sendiri yang mengajak Pak Wo.”
           

            Setelah perkara itu usai, kompleks tempatnya tinggal itu seolah bangun dari tidurnya. Penyesalan tampak di wajah penghuni perumahan itu ketika melewati kos yang dulu ditempati Patih.
            Andai bisa menjadi tetangganya yang baik.
            Begitu selesai menjalani masa rehabilitasi, Sidik pulang dengan penampilan yang berubah drastis. Celana cantung dan jenggotnya yang tersisir rapi. Dia merawat istrinya yang sakit-sakitan di rumah. Kompleks yang hidup itu membuatnya mulai berbaur.
            Ajakan Patih untuk salat di masjid, yang saat itu selalu ditolaknya, kini menggerakkan kaki Sidik dengan sendirinya.
            Pelangi baru Patih sudah sempurna.
            Sementara Arin, Marthin, Nyoman, dan Arjun, menjadi buruan wartawan yang menanyai mereka dengan sejuta kata-kata bijak Patih. Sebenarnya kata-kata itu semuanya milik Imam Syafi’i, idolanya dalam belajar.
            “Pak Wo?”
            “Ya.”
            “Apa itu arunika?” tanya Hasan lugu.
            “Arunika, sinar matahari pagi. Biasanya kekuningan.”
            “Swastamita?” Kali ini giliran Ali.
            “Kebalikan arunika. Swastamita artinya pemandangan sore yang indah saat matahari terbenam.”
            Kedua keponakannya itu berpikir.
            “Konghucu warnanya merah, Buddha warna oranye, Kristen warna hijau, arunika warnanya kuning, swastamita oranye, bagaimana dengan Islam? Apa Patih tidak memberikan warna untuk agamanya sendiri, Pak Wo?”
            “Islam itu spesial di hatinya. Ibunya banyak membekalinya dengan al-Quran dan sunnah. Sejak kecil dia hanya kenal dua warna, hitam dan putih. Baginya islam itu adalah kebenaran dan kebenaran identik dengan warna putih. Hitam sebaliknya. Baginya, kekurangan itu adalah kasih sayang Allah padanya. Buta warna mengajarkannya yang mana yang baik dan mana yang tidak.”
            Kedua cucunya mengangguk kagum.
            “Lain lagi dengan toleransi.”
            “Apa warna toleransi, Pak Wo?”
            “Toleransi bagi Patih adalah abhati.”
            “Abhati?”
            “Apa itu abhati?”
            “Cahaya suci. Setiap agama memiliki warna yang berbeda, tapi tanpa toleransi mereka sama sekali tidak terlihat indah. Yang ada hanya kegelapan.”
            “Bagaimana dengan Islam?”
            Lukman tersenyum mendengar pertanyaan cucunya.
            “Islam itu, kan, warnanya putih, pasti tetap terlihat, kan, Pak Wo?” tebak Ali. “Iya, kan?”
            “Hasan, coba tutup matamu!”
            Hasan menuruti kata Lukman.
            “Apa yang kamu lihat?”
            Hasan hanya menggeleng. Ali mengikuti adiknya, menggeleng juga.
            “Hitam, gelap, Pak Wo!”
            “Hasan, Ali, tidak ada orang di dunia ini yang bisa melihat tanpa cahaya. Sama seperti negeri kita, Indonesia yang kaya akan perbedaan. Tanpa toleransi kita tidak akan menyadari betapa indahnya perbedaan itu.”
            Ketika Patih mendengar kabar bahwa seorang kiai dibunuh oleh seorang ateis, saat itulah dia belajar. Toleransi adalah cahaya kebenaran dari Tuhan. Maka orang yang tidak percaya Tuhan tidak diberikan cahaya itu. Sesampainya di rumah, puisi itu dituliskannya.
Kepada negeri yang mengajarkanku betapa indahnya dunia yang penuh warna
Aku merindukanmu
Apa kabarmu di masa aku benar-benar tak bisa melihat?
Masih samakah indahmu?
Jangan biarkan orang-orang buta warna itu memudarkan cerahmu!
Kepada negeriku,
jangan pernah berhenti merevisi, mengevaluasi segala sistem, memupuki persatuan yang hampir mati, mengambil ibrah dari setiap masalah, dan menguatkan tekad untuk kembali mengibarkan bendera kebanggan kita di langit dunia
Bendera itu bewarna merah putih
Negeri itu bernama Indonesia
Di masa depan semua mata tertuju padanya
Di masa depan semua kata menjunjung persatuannya
Di masa depan duni berdecak kagum karena di masa depan kelak dia bertambah indah dengan warna-warninya
Aku tahu itu
Meski aku tidak bisa melihatnya

            Kepada saudara seiman kutitipkan pesan
Agama yang indah ini adalah rahmat
Disampaikan oleh Tuhan, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang,
melalui Jibril, penyampai ayat-ayat cinta-Nya,
kepada Muhammad, kekasih-Nya yang dicintai-Nya dan amat teramat mencintai kita,
umatnya, yang tak kuasa berhenti, senantiasa bersalawat untuk cintanya
Maka jangan dustakan fitrahnya
Di bawah naungan Bhinneka Tunggal Ika kita bersaudara
Ingatlah, sejarah pahit dan cita-cita bangsa ini mengikat kita
Indonesia, milik kita bersama

           
“Musuh terbesar Islam adalah muslim yang bodoh, yang ketidaktahuannya menyebabkan ia melakukan hal yang tidak toleran. Tindakan itu menghancurkan citra Islam yang sebenarnya dan ketika orang-orang melihatnya, mereka menganggap bahwa itulah Islam.”
-Sheikh Ahmed Deedat-



Comments

  1. What a great story Qoqom, i love it😊 buatlah lebih banyak cerpen agar kegabutan ku teratasi wkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. thanks for reading this, Feliks, it means a lot to me
      😊

      Delete

Post a Comment

Popular Posts